Antara Roma, Palais Des Papes, dan Takdir Kesatria Templar

By , Rabu, 30 Maret 2016 | 16:30 WIB

Pada abad ke-14 (1305 – 1378), semata-mata demi alasan politis, Kepausan pernah berpindah dari Roma ke Avignon. Kini, Palais Des Papes berperan sebagai museum yang dikunjungi sekitar 60 ribu orang setiap tahunnya.

Setelah Benediktus XI wafat pada 1304, terjadi perseteruan panjang dalam konklaf antara para kardinal Prancis dan Italia. Sebagai jalan tengah, diangkatlah Uskup Bordeaux yang dianggap netral, sebagai paus dengan nama Klemens V. Ternyata, jalan tengah tidak berarti tidak condong sebelah. Klemens V memutuskan untuk memindahkan Kepausan ke Avignon, sebuah daerah yang saat itu masih di bawah kekuasaan Roma, namun secara geografis dan politis sangat dipengaruhi Prancis.

Kemegahan arsitektural Palais des Papes (Istana Kepausan) tersohor sebagai bangunan bergaya gotik terbesar di dunia. Luasnya mencapai 15.000 meter persegi, setara empat buah katedral. Pembangunannya memakan waktu kurang dari 20 tahun, dari 1335 sampai 1352, di bawah kepemimpinan Paus Benediktus XII dan penerusnya, Klemens VI. Di langit-langit kapel dan kamar paus, terpajang lukisan dinding nan indah karya seniman Italia, Matteo Giovannetti.

Kesatria Templar—ordo yang saat itu berwenang mengelola keuangan Gereja—pernah menyulut dendam Raja Prancis Philippe IV, dengan menolak memberikan pinjaman uang kepada sang raja. Melalui Klemens V, ia berhasil menganulir keputusan gereja dan memfatwakan Kesatria Templar sebagai bidah. Perburuan besar-besaran pun dilakukan.

Bagi Petrarca, penyair Italia yang kemudian dikenal sebagai pelopor humanisme, Avignon adalah perpaduan antara cinta dan benci. Kritik-kritiknya terhadap kehidupan gereja, berbalas reguk tidak hanya cintanya kepada Laure de Sade, tetapi juga jendela menuju literatur klasik. Dia beberapa kali bertemu dengan para cendekiawan di Avignon berkat koleksi pustaka Istana Kepausan yang saat itu menjadi perpustakaan terkaya di Eropa.