Desa Bangsring di Banyuwangi awalnya tak diperhitungkan dalam pengembangan destinasi wisata di ujung timur Pulau Jawa. Sejak setahun terakhir, wisatawan berdatangan ingin menyaksikan hasil pertobatan wilayah desa pengebom terumbu karang menjadi pelestari yang militan.
Di awal libur panjang Paskah ini, rombongan wartawan, didampingi instruktur selam dari Komando Pasukan Katak Komando Armada RI Kawasan Timur berlatih selam di Bangsring dalam kegiatan Xplore Biota Laut. Sesuai tema acara, kami tidak hanya menambah jam selam, tetapi juga mencari tahu biota penghuni pantai bertekstur landai curam itu.
Obyek wisata itu agak tersembunyi. Ditempuh sekitar 30 menit dari Lapangan Terbang Belimbingsari, Banyuwangi, Jawa Timur. Tepatnya, lokasi itu terletak sekitar 5 kilometer dari arah kota atau obyek wisata Watudodol yang dikenal dengan penanda patung penari gandrung, tari tradisional setempat.
Setelah melewati SPBU Pertamina, kendaraan yang kami tumpangi melaju perlahan karena penanda Pantai Bangsring yang hanya berupa petunjuk bertuliskan Rumah Apung ZLB. Singkatan ZLB adalah zona lindung bersama karena warga pesisir setempat berkomitmen melindungi keberadaan laut dengan swadaya desa.
Sekitar 20 jurnalis dan kurang dari satu peleton anggota Kopaska menginap di empat tenda militer yang dibangun di tepi pantai. Kebutuhan makan siang-malam hampir selalu mengandalkan katering dari warga setempat.
Saat hendak menceburkan diri ke air, saya sempat mengira lokasi penyelaman akan gitu-gitu aja. Apalagi, saat pengenalan, Ikhwan Arief, pimpinan Bangsring Underwater, lembaga pengelola wisata milik warga setempat di Bangsring, mengatakan, hasil studi Pelangi (2008) menunjukkan, lebih dari 80 persen terumbu karang di daerah itu rusak.
Kondisi itu termasuk rusak berat menurut kriteria Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun, setelah menjejakkan fin atau sepatu katak melintasi pantai yang hitam menuju laut dan mencelupkan goggle mask ke dalam air, suguhan pemandangan alam bawah laut pun menggoda mata.
Di dalam perairan yang jernih di pagi hari menunjukkan titik-titik perbaikan terumbu karang yang menggembirakan. Karang-karang akropora dengan beragam jenis ikan menjadi sambutan cukup menggembirakan. Apalagi, mengingat daerah itu pernah menjadi sasaran warga setempat yang mengebom ataupun menggunakan apotas untuk menangkap ikan ataupun mencungkil karang.
Jika diamati lebih rinci, di permukaan rumah karang itu ternyata juga dihinggapi biota-biota lain yang tak kalah eksotis. Sebut saja kelinci laut berwarna putih (Nudibranch) dan ikan scorpion atau lepu yang tampak berdiam di atas karang meski didekati penyelam.
Saya sempat menjumpai karang meja atau karang jenis acropora tabulate bertingkat dengan diameter sekitar 1 meter pada lapisan bawah dan lapisan atasnya masih kecil. Biasanya, karang jenis itu amat rentan patah atau ambruk jika terinjak.
!break!
Rumah apung Selain menyelam, Bangsring Underwater menawarkan jasa selam di permukaan air (snorkeling), permainan air memakai perahu karet berbentuk pisang ukuran besar (banana boat), dan penyeberangan singkat menuju Rumah Apung Bangsring. Di rumah itu, kita bisa melihat lokasi semacam keramba yang di dalamnya ada puluhan hiu sirip hitam (black tip shark) dan hiu sirip putih (white tip shark), predator utama ekosistem terumbu karang di daerah tropis. Di tempat itu, pengunjung bisa menceburkan diri dalam keramba dan jika sabar dapat berswafoto bersama hiu di dalamnya. Sebagai catatan, wisata bersama hiu dalam keramba ditentang sejumlah organisasi lingkungan karena hiu, apa pun jenisnya, harus berada di alam. Namun, pandangan berbeda diungkapkan Didi Sadili dari Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sebelumnya memberi pembekalan bagi peserta penyelam. Menurut dia, dari 119 jenis hiu di Indonesia, hanya beberapa hiu yang dilarang untuk dipelihara tanpa izin, seperti hiu paus (whaleshark) dan hiu gergaji atau hiu sentani. Dengan snorkeling di pinggir rumah apung itu, kita bisa menikmati "serbuan" ratusan hingga ribuan ikan terongan berukuran panjang telunjuk tangan orang dewasa. Itu terjadi saat ikan-ikan tersebut "dipanggil" dengan menabur remah-remah roti tawar. Kabar buruknya, ikan itu biasanya bergerombol datang mengikuti sampah dedaunan atau plastik yang mengikuti arus pantai setempat. Sampah, terutama plastik kemasan makanan dan minuman, tersebut berasal dari dua sungai setempat yang mengapit Bangsri. "Kami memikirkan cara agar sampah dari sungai itu tak mengotori laut lagi," kata Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi, yang dikonfirmasi mengenai keberadaan sampah-sampah ini. Kehadiran tumpukan sampah itu tentu mengganggu wisatawan yang mencapai ribuan orang pada Sabtu dan Minggu atau hari libur. Sampah plastik yang jadi masalah umum di lingkungan perairan laut di Indonesia itu perlu segera dicari solusinya. Apalagi, Bupati Azwar Anas mengakui, destinasi wisata Pantai Bangsring itu tidak diperhitungkan sebelumnya. Inisiatif dan kesadaran warga untuk mengembalikan kondisi alam Bangsri dan menyuguhkannya sebagai atraksi biota penghuni laut Banyuwangi itu harus terjaga. Apalagi, warga setempat membuktikan kemandirian dalam mengelola ekowisata. (Ichwan Susanto)