Pelajaran dari Berjalan Kaki Sejauh 21.000 Mil Keliling Dunia

By , Rabu, 13 April 2016 | 12:00 WIB

Paul Salopek, menuju Bethlehem, berjalan kaki ke wilayah yang diperebutkan di Palestina. Ia akan berjalan kaki, menapaki tanah ke seluruh dunia selama enam atau tujuh tahun ke depan.

Perjalanan antarbenua ini ia sebut Out of Eden Walk, proyek bercerita yang bertujuan untuk menelusuri kembali jejak manusia modern pertama secara anatomis, yang bermigrasi keluar dari Afrika saat Zaman Batu. Ia terlambat menuju Tierra del Fuego, celah terakhir dari benua yang dijajah oleh spesies kita.

Sepanjang jalan, Salopek menulis cerita dan merekam gambar dari orang yang ia temui. Salah satu kisah dari perjalanan sejauh 21.000 mil ini adalah untuk memberitahu pemilik kafe di, katakanlah, Asia Tengah, bahwa Salopek baru saja saya melenggang dari Ethiopia.

Berangkat dari Tanduk Afrika pada tahun 2013, berjalan kaki telah membuat kaki dan jantungnya lebih kuat. Namun yang lebih penting, adalah pemikiran Salopek yang lebih fleksibel. Negara, benua, dan zona waktu yang ia lewati dengan kaki hari demi hari, bulan demi bulan telah mengubah caranya memaknai kehidupan di planet ini.

Salopek telah belajar dengan cepat, misalnya, bahwa bagian termiskin dari dunia adalah yang paling menyenangkan untuk perjalanan kaki. Di Ethiopia, di mana hanya ada beberapa orang yang memiliki mobil, semua orang mesti berjalan ke mana-mana. Bahkan anak terkecil bisa mengarahkan jalan melalui pemandangan kompleks yang masih bisa dilalui oleh jalan manusia.

Di negara-negara yang lebih makmur dan bermotor, sebaliknya, orang kehilangan koneksi tidak hanya dengan lingkungan mereka, tetapi dengan bentuk dunia itu sendiri. Mobil memusnahkan waktu dan jarak. Terkunci di dalam gelembung logam dan kaca, terbatas, mempersempit jalanan dengan aspal. Kita dibius dengan kecepatan, spasial terbelakang.

“Berjalan kaki di negara gila mobil seperti Arab Saudi, saya menemukan tak ada gunanya meminta penunjuk arah,” tulis Salopek.

!break!

Imbalan yang tak terduga

Berjalan melintasi bumi, ia kembali belajar upacara lama tentang keberangkatan dan kedatangan. (Membuat perkemahan mencolok, mengepak dan membongkar ransel, sebuah ritual antik dan menghibur.) Salopek memilah-milah pemandangan sesuai seleranya. Ia turut memetik hasil panen bersama petani, dan ia kembali terhubung dengan sesama manusia dengan cara yang tidak pernah ia bisa pahami sebagai reporter, yang malang-melintang dengan pesawat jet dan mobil.

Keluar dengan berjalan, Salopek terus bertemu orang-orang. Ia tidak bisa mengabaikan mereka atau menolak tumpangan oleh mereka. “Aku menyapa mereka. Aku ngobrol dengan orang asing lima, sepuluh, dua puluh kali sehari. Aku terlibat dalam percakapan berkelok-kelok, tiga mil per jam yang mencakup dua belahan bumi,” kisah Salopek.

Lebih dari tiga tahun yang lalu, saat meneliti perjalanan panjang dan sangat lambat, Salopek mengunjungi kamp Kenya milik ahli paleoantropologi terkenal Meave Leakey. Ia mengingat, di suatu pagi ia menuju sebuah desa terdekat bersama dengan Leakey.

"Apakah desa itu dapat ditempuh dengan berjalan kaki?" Salopek bertanya pada Leakey..

Dia menatapku, heran. "Semuanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki," jawabnya.

Tertawa, Salopek kembali melangkah ke padang gurun.