Mencari Harapan Hidup Attawapiskat, Komunitas yang Diisolasi dari Dunia

By , Selasa, 19 April 2016 | 19:00 WIB

Attawapiskat di Ontario, Kanada, berada dalam keadaan darurat setelah 11 warganya mencoba bunuh diri dalam satu hari. Krisis ini bukan kejutan bagi orang-orang dari Attawapiskat. Sejak September, lebih dari 100 orang telah mencoba bunuh diri. Ini masalah tanpa pola, orang-orang menderita, baik yang muda dan tua, atau pria dan wanita.

Ketika serangkaian usaha bunuh diri serupa terjadi pada tahun 2012, fotografer Renaud Philippe melihat sesuatu yang hilang dari liputan media.

"Tidak ada yang membuat saya memahami siapa orang-orang ini, tidak ada yang membuat saya memahami apa yang hidup di komunitas ini," kata Philippe. "Media hanya terfokus pada berita. Jadi saya ingin pergi untuk mencari tahu apa rasanya hidup di tempat semacam itu-yang terletak begitu dekat dengan Toronto, Quebec, Montreal, tapi kami tidak tahu apa-apa tentang mereka. "

Orang-orang First Nations adalah kelompok aborigin yang berada di Kanada (atau penduduk asli kanada) jauh sebelum pendatang kulit putih tiba. Secara tradisional mereka nomaden, berburu dan memancing dan bermigrasi sesuai musim. Tapi seperti yang paling sering terjadi dalam sejarah penjajahan, pemerintah kulit putih pada akhirnya memimpin paksa perubahan gaya hidup.

Pada akhir abad ke-19, Undang-Undang Indian mendorong penduduk asli untuk diisolasi, dan mencoba untuk mengasimilasi mereka ke dalam budaya kulit putih. Orang-orang ini tidak bisa memiliki rumah atau tanah mereka sendiri !

Philippe menyaksikan kehidupan ini, ia mengatakan, "Saya merasa sedang mengambil gambar bukan saat sekarang, melainkan konsekuensi dari masa lalu."

Attawapiskat adalah sekelompok orang terisolasi yang hidup di tepi James Bay. Jumlah mereka sekitar 2.000 jiwa. Satu-satunya cara bagi orang-orang dan persediaan untuk datang atau keluar adalah dengan udara atau jalan es yang hanya terbuka dua bulan sekali dalam tahun. Ketika Philippe tiba di Attawapiskat, apa yang dilihatnya sangat mengejutkan.

"Aku pernah berada di beberapa tempat, seperti tempat pasca gempa bumi atau kamp-kamp pengungsi, di mana aku pernah melihat banyak orang menderita," katanya. "Tapi di Attawapiskat itu berbeda. Anda dapat merasakannya saat Anda berada di sana. Hidup tampaknya benar-benar berat, benar-benar sulit. "

Philippe tidak menerima sambutan hangat, tetapi setelah beberapa hari berbicara dengan warga, ia bertemu dengan satu keluarga yang memperbolehkanny tinggal bersama mereka selama dua minggu.

Kurangnya kesempatan sangat mencolok. Pengangguran merajalela. Beberapa orang bekerja di sebuah tambang DeBeers terdekat, orang lain memiliki pekerjaan dalam kota, dan banyak yang bergantung pada bantuan pemerintah. Phillipe mengatakan orang tua dari keluarga tempat ia tinggal mengonsumsi Oxycontin (pengobatan yang dapat dilakukan secara mandiri, namun akan membuat kecanduan) umum dan mahal terkenal di kota.

Bahkan sekolah hanya memberikan sedikit harapan untuk beberapa penduduk. Dalam dua minggu Philippe tinggal dengan keluarga tersebut, anak-anak tidak pernah pergi ke sekolah. Bagi penduduk asli,  tingkat putus sekolah jauh lebih tinggi daripada mereka yang meninggal di daerah isolasi.

Harapan, tetaplah harapan. Harapan lah yang membuat manusia terus menjalani hidup, meski hanya secercah. Hal-hal kecil seperti berkumpul untuk bermain kartu, anak-anak yang bermain hoki di arena buatan sendiri, dan ayah yang mencuci rambut anaknya dengan lembut di wastafel semoga sedikit memberi harapan untuk terus melanjutkan kehidupan.

"Ada banyak hal yang buruk untuk dikatakan," kata Philippe, "tapi ada begitu banyak cinta dalam keluarga ini. Hal terpenting bagi saya untuk dikatakan: Mereka ingin hidup seperti semua yang orang inginkan. Mereka ingin berada di tempat yang damai, di sebuah keluarga yang penuh kasih, menciptakan tujuan untuk masa depan."