Ancaman Bencana di Balik Kantong Plastik

By , Jumat, 29 April 2016 | 08:00 WIB

Kebijakan kantong plastik berbayar yang mulai diujicobakan penerapannya oleh Pemerintah pada 21 Februari 2016, disebut mulai memperlihatkan hasil di Jakarta. Namun, ada ancaman bencana lebih besar yang masih belum terelakkan dengan itu. “Saat survei di Jakarta, 103 responden (46,4 persen) tidak lagi memakai (kantong) plastik (saat berbelanja),” ujar peneliti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Natalya Kurniawati seperti dikutip Kompas.com pada Rabu (13/4/2016).Survei YLKI yang melibatkan 222 responden di Jakarta mendapati pula, 83 konsumen mengaku menggunakan kurang dari 3 lembar kantong plastik, 29 orang memakai 3-4 kantong, dan 7 responden menggunakan lebih dari 4 kantong.Dari riset itu, mayoritas responden terlihat sudah mulai mengurangi atau bahkan tak memakai kantong plastik saat berbelanja dan memilih membawa tas atau kantong belanja dari rumah. Penelitian itu dilakukan YLKI pada 1 Maret 2016 sampai 6 April 2016, untuk memantau efektivitas kebijakan kantong plastik berbayar.Meski demikian, YLKI merasa kebijakan plastik berbayar belum cukup efektif, dengan data masih banyak juga responden yang tetap menggunakan kantong plastik dari toko ritel sekalipun dikenakan tambahan harga. Survei di atas juga relatif terbatas cakupannya. Padahal, ancaman dari penggunaan plastik tetap membayangi Bumi.BencanaBerdasarkan riset Greeneration pada 2009, satu orang di Indonesia rata-rata memakai 700 kantong plastik per tahun. Bila diakumulasi, ada lebih dari 100 miliar kantong plastik—yang pembuatannya menghabiskan 12 juta barrel minyak bumi—digunakan masyarakat Indonesia per tahun.

Dengan patokan harga Rp 200—patokan dalam kebijakan pemerintah berdasarkan kesepakatan dengan Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo)—didapati setiap orang rata-rata mengeluarkan uang Rp 140.000 hanya untuk membayar kantong plastik, bila kebiasaan penggunaan kantong tersebut tak berubah.Kalaupun nominal itu dianggap tak seberapa, tumpukan sampah dari kantong plastik yang tak bisa cepat terurai di alam akan menjadi ancaman lebih besar bagi kehidupan dan ekosistem. 

Terlebih lagi, lahan untuk tempat pembuangan akhir (TPA) di Indonesia semakin terbatas. Tumpukan tinggi dari sampah yang tak cepat terurai seperti plastik bakal menggunung dan rawan menjadi penyebab bencana tersendiri.Bencana akibat sampah—yang kebanyakan didominasi plastik—pernah melanda Indonesia pada 21 Februari 2005. Saat itu, 157 jiwa hilang sia-sia dan dua kampung terhapus dari peta karena tertimpa longsoran sampah dari TPA Leuwigajah, Bandung.

Bahaya lanjutan yang mengancam adalah ditemukan banyak sampah plastik di laut. Penelitian Jenna R Jambeck dan kawan-kawan pada 2015 membuktikan, Indonesia ternyata menjadi penyumbang sampah plastik ke laut terbanyak kedua setelah China.Dari riset itu, Indonesia disebut bertanggung jawab atas 3,2 juta ton sampah plastik yang mengambang di lautan. Biota laut, seperti plankton, ikan, dan burung-burung laut, bisa saja mengonsumsi sampah plastik itu.Situasi akan memburuk ketika sampai sampah plastik masuk ke rantai makanan dari rangkaian fakta itu. Maksud hati menambah asupan gizi dengan menyantap menu masakan laut, bisa jadi yang tertelan malah sampah plastik dalam badan ikan bila kondisi itu terjadi.Terlebih lagi, banyak orang Indonesia pada hari ini masih menggantungkan hidupnya dari laut dan hasilnya. Kalau peduli, mulai saja mengurangi penggunaan plastik dalam aktivitas harian. Misalnya, dari membawa sendiri tas atau kantong berulang pakai dari rumah.