Dewi Samudra merayakan hari jadinya, tepat tanggal 23 bulan 3 penanggalan Imlek, bertepatan dengan tanggal 30 April 2016. Setiap tahun, masyarakat Cina di seluruh dunia merayakan hari kelahiran Mazu (Ibu Keramat) dengan perayaan sembahyang yang khidmat. Tak jarang ada pula pemujanya yang merayakan hari kelahirannya dengan mengadakan keramaian di klenteng dewa utamanya adalah sang dewi samudra.
Kisah Mazu dimulai sejak masa Dinasti Song (960-1279), ia berasal dari daerah Meizhou sebuah daerah pantai di Fujian, Cina bagian selatan. Lin Mo (niang), seorang putri dari seorang pelaut, lahir pada tahun 960 dan meninggal pada tahun 987. Setelah ia meninggal, ia dikenal sebagai seorang dewi yang selalu datang ketika para pelaut meminta pertolongannya di tengah laut.
Terdapat setidaknya beberapa legenda mengenai Lin Mo, salah satunya bercerita mengenai Lin Mo yang menyelamatkan saudara-saudaranya yang tengah melaut.
Bagi masyarakat Lasem, terutama di kawasan kota tua (Pecinan) Lasem, Makco memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat Cina Lasem.
Suatu malam, hujan badai menjelang, empat orang saudara Lin Mo tengah melaut. Kedua orang tuanya mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya di tengah laut. Badai makin mendera, Lin Mo yang sedang tidur tiba-tiba meronta dan berjalan di tengah tidurnya. Sang ayah berusaha sangat keras membangunkan Lin Mo. Lin Mo terbangun dan menatap ayahnya sambil bertanya mengapa sang ayah membangunkan dirinya yang sedang menyelamatkan kakaknya. Sang ayah dan ibu hanya terdiam berpandangan, mereka tidak memahami perkataan Lin Mo.
Keesokan harinya, tiga orang anak laki-laki Lin kembali ke rumah, satu orang mati. Mereka bercerita pada ayah dan ibunya bahwa ketika badai terjadi, sang adik – Lin Mo – datang menyelamatkan mereka satu persatu dari hempasan badai air laut, hanya mereka bertiga yang selamat karena tiba-tiba sang ayah membangunkan Lin Mo dari tidurnya. Sejak saat itu, Lin Mo yang konon memiliki kemampuan meramal cuaca dan pengobatan, mulai melegenda.
Ia mulai sohor dengan nama Mazu ‘Ibu Keramat’ yang mampu melindungi para nelayan atau pelaut yang meminta pertolongannya. Oleh karenanya, patung Mazu selalu dibawa oleh nelayan, pelaut dan orang-orang yang melakukan perjalanan laut. Ia dipuja oleh masyarakat di Fujian, Zhejian, Tianjin, Guangdong, Hainan, Taiwan dan di belahan dunia lainnya. Mazu pun dibawa serta oleh orang-orang Fujian yang bermigrasi ke Asia Tenggara dan Nusantara. Mazu dikenal dengan beberapa nama yaitu Macopo, Tianhou, Tianshang Shengmu (Thianxiang Sengbo). Di beberapa klenteng di Pulau Jawa, Mazu mendapat julukan Mak (Mak Co) – nenek.
Perayaan ulang tahun Mak Co sang Dewi samudra biasanya dimulai sehari sebelum hari jadinya. Seperti pada salah satu klenteng Dewi samudra di pantai utara Jawa, Lasem – Klenteng Cu An Kiong. Sembahyang Tiamyo dilakukan sore hari, diiringi gamelan Jawa, para pimpinan sembahyang mulai membakar hio dan berdoa pada Makco dan dewa-dewa lainnya. Sesajian telah ditata memanjang di hadapan patung Mazu. Barongsai dan liong dari perkumpulan Ho Hap Lasem dan Semarang pun membuka acara sembahyang malam itu dari sore sampai pukul 9 malam. Atraksi yang dimulai menjelang senja itu pun diminati warga sekitar dan umat yang datang untuk sembahyang. Anak-anak kecil berlomba menyentuh barongsai dan menyelipkan angpao di mulut barongsai dan liong. Kegembiraan menyambut Sejit Makco ternyata diminati oleh anak-anak dan generasi muda.
"Makco itu dewi welas asih, mencintai kehidupan. Siapa pun boleh minta pada Makco, asal tulus ikhlas, Emak pasti membantu."
Menanti sembahyang tengah malam, gamelan bergema, warga sekitar dan umat yang hendak bersembahyang pun berbaur. Pukul 11 malam, sembahyang dimulai. “Ini sembahyang King Mi Swa, untuk Makco. Harus selesai sebelum tengah malam, jadi jam 11 sudah kita mulai,” ujar Gandor Sugiharto yang turut memandu jalannya sembahyang bersama Locu dan Hu Locu (kedua jabatan ini adalah pemimpin sembahyang dalam siklus satu tahun penanggalan Imlek).
Pada acara sembahyang, Locu dan Hu Locu memiliki tugas tetap untuk mempersiapkan sesajian.“Kami bertugas menyiapkan buah-buahan, kue-kue basah warna merah, ngo seng biasanya ayam, kepala babi, bandeng,kepiting, telor asin),” ujar Moelyono (Oey Giong Siang), Locu terpilih yang akan segera menjalankan tugasnya sebagai Locu di Lasem.
Pada hari jadi Makco, Locu dan Hu Locu bersiap menjalankan sembahyang pada pukul 10 pagi dan harus berakhir pada pukul 11 siang. Sembahyang Sejit (ulang tahun) dimulai dan diakhiri dengan dibakarnya Kieng Ie atau kertas doa berbentuk perahu-perahuan yang tergantung di batang tebu. Batang-batang tebu lantas dipotong-potong, selanjutnya dibuang ke sungai atau ditancapkan di tanah kosong.
“Pada akhirnya, tebu-tebu itu akan tumbuh di suatu tempat, kehidupan baru. Makco itu dewi welas asih, mencintai kehidupan. Siapa pun boleh minta pada Makco, asal tulus ikhlas, Emak pasti membantu,” ujar Gandor. Bagi masyarakat Lasem, terutama di kawasan kota tua (Pecinan) Lasem, Makco memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat Cina Lasem.
Moelyono menyatakan,”Semua tergantung pribadi masing-masing tinggal percaya apa tidak ya. Setahu saya, Makco sering menolong orang yang kesusahan, baik masalah keuangan, maupun sakit.” Baik Gandor maupun Moelyono sama-sama menyampaikan bahwa semua orang boleh datang ke klenteng Makco. “Klenteng ini tempat berkumpulnya orang beragama, memohon dalam hati, pasti Emak membantu,” pungkas Gandor.