Ketika Anak Punya Teman Khayalan

By , Kamis, 5 Mei 2016 | 13:00 WIB

Anda pasti pernah mendengar tentang teman khayalan. Mungkin, waktu kecil Anda pun pernah punya teman khayalan. Anda bahkan memberinya nama, dan kerap bercakap-cakap dengannya seolah si teman sedang berada di hadapan Anda. Mengingat pengalaman tersebut, Anda pasti tak heran lagi jika kini giliran si kecil yang mempunyai teman khayalan.

Namun bagaimana dengan ibu lainnya yang baru pertama kali menghadapi teman khayalan anak? Pasti terasa aneh dan membingungkan. Bahkan mungkin ada yang merasa khawatir. Lalu, siapa sebenarnya teman khayalan ini? Bagaimana awal mula anak punya teman khayalan?

Si teman khayalan ini biasanya muncul saat anak memasuki usia prasekolah. Teman khayalan muncul di masa ini, karena perkembangan kognitif dan bahasa anak di masa ini sedang berkembang. Salah satu ciri khas perkembangan kognitifnya adalah pemikiran yang egosentris dan animistik. Anak percaya bahwa benda mati memiliki kualitas seperti mahluk hidup yang bisa berpikir, berharap, dan memiliki perasaan seperti dirinya. Di masa ini pun, lanjutnya, berkembangnya daya imajinasi memungkinkan anak menciptakan teman khayalan.

Bentuk teman khayalan bisa bermacam-macam, pokoknya semua hal yang diinginkan anak. Bisa berupa mainan seperti mobil-mobilan, boneka, atau bahkan binatang piaraan seperti kucing, anjing, dan lainnya. Beberapa anak bahkan memberikan nama pada teman khayalannya.

Dari penelitian diketahui, anak yang mempunyai teman khayalan ini banyak yang memiliki inteligensi tinggi dan kreatif. Meski demikian, dalam beberapa kasus diketahui pula, anak yang bermasalah dalam penyesuaian diri dan emosi juga cenderung memiliki teman khayalan. Ada berbagai macam alasan, mengapa anak menciptakan teman khayalan, yaitu:

1. Sedang tidak punya teman. Anak merasa kesepian dan butuh teman bermain atau tempat curhat. Boleh jadi hal itu disebabkan kedua orangtuanya sedang tidak dapat meluangkan waktu untuk bermain dengannya.

2. Sedang tak ingin menjalin interaksi dengan orang lain. Akibatnya, anak melampiaskan segala sesuatunya pada teman khayalan. Namun, ini tidak mutlak. Bisa saja anak memiliki kemampuan menjalin interaksi yang baik, tetapi jika ia tidak memiliki wadah atau tiada teman bermain, ia akan mengembangkan teman khayalan.

3. Punya pengalaman negatif. Anak-anak yang ditolak oleh lingkungan atau kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan, cenderung lebih menyenangi solitary play dan menjadikan mainan-mainannya sebagai teman-teman yang hidup.

4. Egosentris. Anak ingin mempunyai teman yang selalu mendengarkannya, menurut padanya, dan tahu apa yang diinginkan. Hal ini terjadi karena menurut tahapan perkembangan memang di usia ini anak cenderung egosentris, di mana segala sesuatu harus didasarkan atas keinginannya.

Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan, teman khayalan hadir untuk memenuhi kebutuhan si kecil dalam mengekspresikan emosi yang dirasakan. Tak heran, teman khayalan kadang dapat berperan sebagai sosok yang disalahkan atau alter ego. Misal, anak menggunakan teman khayalannya sebagai tersangka atas mainannya yang hilang. Selain itu, teman khayalan juga berfungsi sebagai teman bermain yang menyenangkan. Ini karena biasanya anak menciptakan teman khayalan dengan karakteristik yang disukainya.