Kampung Adat Tarung Bertahan di Era Modern

By , Jumat, 27 Mei 2016 | 18:00 WIB

Sebuah bukit kecil dengan ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan daratan Kota Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, berdiri kokoh.

Bukit itu diyakini sebagai tempat tinggal pertama leluhur Sumba, Sudi Wonanyoba. Dia menjaga pasangannya yang disebut Tarung. Keyakinan pun menguat, ada leluhur tertinggi, menjaga yang lemah.

Ruas jalan menanjak menuju kampung sepanjang hampir 150 meter itu dicor semen dan batu dengan lebar 3 meter, cukup satu kendaraan roda empat melintas.

Di pintu gerbang menuju ruas jalan itu terdapat pos jaga, tetapi tidak ada penjaganya. Rupanya pos itu dibangun pemerintah daerah setempat untuk tempat pengumpulan uang retribusi masuk kampung adat Tarung.

Minggu siang itu, kampung adat itu tampak sepi. Di pinggir kampung itu terdapat lima pohon beringin berusia ratusan tahun dengan ketinggian sekitar 70 meter.

Pohon-pohon itu berdiri kokoh, seakan mengelilingi kampung. Tumbuhan benalu bergelantungan di pohon itu. Beberapa jenis burung berkicau bersautan sambil beterbangan dari dahan yang satu ke dahan lain.

Lolongan gerombolan anjing milik warga di pintu masuk pelataran kampung pada saat tamu berkunjung membuat sebagian besar warga kampung keluar dari rumah panggung masing-masing.

Hari Minggu, warga kampung umumnya berada di rumah. Setelah menjinakkan anjing-anjing itu, warga pun mempersilakan tamu duduk di rumah panggung yang tersusun dari bambu-bambu bulat.

Kampung itu hanya terdiri atas 102 rumah panggung, dihuni sekitar 400 keluarga. Di dalam satu rumah panggung berukuran sekitar 15 meter x 15 meter itu dihuni 3-4 keluarga. Jumlah warga Tarung 1.530 jiwa dengan mata pencarian sebagai petani, perajin tenun ikat, dan pegawai negeri sipil.

Rumah-rumah itu dibangun melingkari puncak bukit. Terdapat sebuah pelataran di tengah kampung. Di pelataran itu terdapat 17 kubur batu berbentuk altar (meja) dengan titik pusat pelataran berada di ujung timur, tempat matahari terbit.Di situ ada mesbah, terbuat dari batu berukuran 2 meter x 3 meter, diapit sebuah pondok ilalang berukuran 2 meter x 2 meter dengan ketinggian 3 meter. Pondok itu tempat berdoa Rato (raja yang juga menjabat imam adat).Dalam satu bulan, sang Rato berdoa tiga kali di rumah gubuk itu, yakni awal bulan, pertengahan bulan, dan akhir bulan.Rato berdoa semalam suntuk di rumah itu, meminta perlindungan, pertolongan, dan kesejahteraan bagi warga Tarung khususnya dan Sumba umumnya serta mengucap syukur kepada leluhur pertama Sumba, Sudi Womanyoba, sebagai penjaga tertinggi. Selama berdoa, posisi duduk Rato menghadap ke Kota Waikabubak.Pelataran berukuran sekitar 15 meter x 30 meter itu juga untuk menggelar ritual adat tahunan, Wula Phodu atau bulan suci, sama dengan tahun baru masyarakat Sumba.Wula Phodu digelar setiap Oktober atau November, tergantung posisi bulan. Hari dan tanggal kegiatan ditentukan Rato setempat setelah mendapat konfirmasi dari tetua adat lain.Di pelataran itu, setiap malam selama Wula Phodu digelar musik, tarian adat, dan pemberian sesajian kepada leluhur oleh Rato. Para orangtua mengenakan pakaian tradisional Sumba.Rato Tarung, Rato Lado Regi Tera, mengatakan, kampung adat Tarung sering disebut ”Tarung Waibaka” karena Kampung Waibaka menyatu dengan kampung adat Tarung. Waibaka merupakan ”adik kandung” Tarung dengan jumlah rumah adat sebanyak 12 unit.”Saudara kandung lain dari Tarung, selain Waibaka, adalah Pardhe Lembung dan Bodo Ede yang letaknya sekitar 50 meter arah utara Tarung. Nama-nama itu diambil dari nama leluhur yang datang di Sumba. Tarung sebagai kakak sulung,” kata Tera.

Penduduk kampung adat itu masih beragama asli, yakni Merapu, sebuah kepercayaan asli mengenai Tuhan yang bertelinga besar dan bermata lebar, mampu mendengar segala bunyi, serta melihat segala sesuatu yang tersembunyi.Mereka tidak menganut agama yang diakui pemerintah, seperti Kristen, Islam, Katolik, Hindu, dan Buddha. Jika ada warga menganut salah satu dari agama-agama itu, warga itu harus pindah dari kampung dan bergabung dengan masyarakat Sumba umum yang sudah memeluk agama tertentu.!break!

TantanganSemua kegiatan, perkataan, perbuatan, tata cara membangun rumah, dan urusan adat di kampung adat itu selalu mengarah pada wujud tertinggi, Merapu. Perkawinan adat pun dilakukan sesuai kepercayaan tradisional, Merapu. Tidak pernah ada warga Tarung atau kampung adat lain melangsungkan pernikahan di rumah ibadah resmi yang diakui negara.

Sejumlah warga Kampung Adat Prai Ijing, Kecamatan Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, membongkar salah satu rumah tradisional milik warga, Minggu (14/2/2016). Sebanyak 10 rumah tradisional akan dibongkar secara gotong royong karena mulai lapuk. Keberadaan kampung adat di Sumba menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung. (Wisnu Widiantoro/Kompas.com)

Namun, kata Tera, warga kampung adat itu terus mendapat tantangan untuk menghilangkan tradisi dan adat leluhur itu. Salah satu cara yang paling ampuh (keras) adalah mewajibkan setiap anak sekolah dasar pergi ke rumah ibadah pada Minggu atau Jumat.

Anak-anak itu harus meminta tanda tangan pemimpin ibadah dan menulis isi ringkas khotbah dari pendeta, pastor, atau ustaz (imam).”Itu berarti, mereka memaksa kami harus memeluk agama tertentu yang diakui pemerintah. Anak-anak harus memeluk agama tertentu sebagai upaya melenyapkan agama asli Sumba yang menurut mereka adalah keyakinan kafir. (Padahal) mereka tahu, anak-anak dari kampung ini hanya memiliki agama asli, Merapu,” kata Tera.Tidak hanya itu, pada kartu tanda penduduk warga Tarung juga ditulis memeluk agama tertentu. Padahal, mereka beragama asli, Merapu.Alasannya, agar warga beragama tradisional itu mendapatkan pelayanan pemerintah berupa beras untuk masyarakat miskin, kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, bantuan tunai langsung, dan lainnya.Karena Merapu dianggap agama primitif, setiap kegiatan Merapu di kampung itu hingga tahun 2007 tidak mendapatkan bantuan pemerintah.

Pemerintah, yakni dinas pariwisata dan kebudayaan setempat, baru tahun 2008 memberi perhatian dengan membangun akses ke kampung-kampung adat itu setelah turis asing ramai mengunjungi kampung-kampung itu.Ritual Pasola, Wula Phodu, dan kegiatan adat lain selalu berawal dari rumah adat sehingga pemerintah daerah setempat mulai memberi perhatian ke kampung-kampung adat.Namun, ada kecenderungan pemerintah mengambil alih beberapa bagian dari ritual adat, seperti penentuan tanggal penyelenggaraan Wula Phodu, Pasola, dan pernikahan adat.Hal tersebut mengakibatkan warga Tarung seolah bertarung dalam tradisi leluhur dan desakan kemajuan kota.