Mamalia laut terbesar, yaitu paus menjadi hewan yang sensitif terhadap suara. Pendengaran mereka sangat luar biasa. Sebuah film dokumenter bertajuk Sonic Sea yang ditayangkan di Discovery Channel menunjukkan bagaimana seorang ilmuwan menjelaskan kekagumannya dengan dunia aural tersebut. Sang ilmuwan juga menggambarkan bagaimana budaya kita, manusia, membunuh paus yang nyatanya harus dilestarikan agar habitatnya selalu ada?
(Baca : Bertamu ke "Rumah" Hiu Paus di Teluk Triton)
Seorang ahli bioakustika di Cornell University, Chris Clark, menjelaskan bahwa ketika pertama kali ia menjatuhkan mikrofon ke Samudera Arkik melalui lubang di es pada laut, ia mendengar suara paus dan anjing laut yang berceloteh seakan semua bergerak keluar.
Suara bawah laut yang indah ini nyatanya sedang dihancurkan oleh manusia secara tidak langsung. Beberapa sumber utama dari keributan yang mengancam paus adalah sonar angkatan laut, penambangan minyak dan gas di lepas pantai, serta pelayaran komersial. Bahkan, pemerintah Amerika Serikat sudah berusaha selama bertahun-tahun untuk mengurangi sonar angkatan laut, karena hal ini dapat membunuh paus serta lumba-lumba.
Survei seismik pada penambangan minyak dan gas di lepas pantai melibatkan ledakan udara yang dapat membahayakan kehidupan laut. Pada April lalu, puluhan ilmuwan kelautan meminta pemerintahan Obama menghentikan perizinan eksplorasi minyak dan gas di lepas pantai Atlantik. Kebisingan dapat mengancam kelangsungan paus di Atlantik Utara yang tersisa 500 ekor, dimana menjadi spesies yang terancam punah di dunia.
(Baca pula : Hiu Paus Jadi Atraksi Wisata Baru Khas Gorontalo)
Ada sekitar 60.000 kapal container dalam pelayaran komersial yang melintasi laut. Beberapa paus hidup hingga 150-200 tahun. Menurut Patrick Ramage, direktur program paus untuk International Fund for Animal Welfare, konsumerisme adalah penyebab utama dari pencemaran suara laut. Sekitar 98% produk yang digunakan atau dikonsumsi manusia, berasal dari tempat lain, dimana semuanya datang dengan kapal-kapal.