Genting-genting meliuk-liuk bersuara aneh. Tembok bangunan yang kokoh berdiri runtuh sekejap. Suara “kiamat-kiamat” terdengar, suasana panik. Inginku berdiri berlari tapi jatuh, merangkak menjauh keluar dari rumah. Tanah bergoyang tak beraturan. Mentari tertutupi debu pekat hingga tak pancar rona sinar pagi. Pikirku Tuhan telah murka.
Satu jam berlalu, tiba-tiba ada kabar burung datangnya bah tsunami dari laut selatan. Entah benar atau tidak. Kami berlarian menuju daratan yang lebih tinggi. Beberapa ada menganggap pergi ke Kraton Yogyakarta akan aman. “mataharinya terbit di barat apa timur?” saut seorang kakek yang juga ikut mengungsi karena isu tsunami. Hati kami pun kembali lega bahwa kabar adanya tsunami hanyalah isu semata.
Kejadian ini sedikit yang bisa menggambarkan tentang gempa tektonik yang melanda Yogyakarta sepuluh tahun silam. Saat itu pukul 05.55 WIB gempa mengguncang dengan kekuatan 5,9 skala richter. Tak lebih dari satu menit gempa meluluhlantahkan rumah, gedung perkantoran, sekolah, perguruan tinggi dan bangunan lainnya.
Tak hanya di Yogyakarta, gempa dapat dirasakan sampai di Klaten, Solo, Semarang, Purworejo dan Banyumas. Getarannya dapat dirasakan juga di beberapa provinsi Jawa Timur seperti di Ngawi, Madiun, Kediri, Trenggalek, Magetan, Pacitan, Blitar dan Surabaya. Korban-korban pun berjatuhan. Tercatat 6.234 korban meninggal dunia dan ratusan ataupun ribuan korban luka tak terhitung. Sampai sekarang kejadian maut di tanggal 27 Mei 2006 itu masih kami ingat dalam memori kepala.
Peristiwa yang dahsyat ini meninggalkan banyak kenangan. Suka maupun duka. Empati berdatangan. Bantuan datang dari pemerintah, pribadi, swasta maupun pihak dari luar negeri. Salah satunya Yayasan Penyandang Cacat Mandiri (YPCM) pada tahun 2007 berdiri atas bantuan dari Japan Red Cross. Yayasan ini berdiri tak terlepas dari bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta tahun 2006.
!break!
Kerjasama kedua belah pihak ini berawal dari Japan Red Cross menawarkan bantuan berupa gedung dan beberpa unit peralatan guna memproduksi barang-barang handicraft. Yayasan ini berdiri juga bertujuan untuk menangani korban-korban pasca gempa bumi. Selain itu yayasan ini berfokus pada kegiatan bidang sosial, ekonomi dan keagamaan. Sesuai nama yayasan, aktivitas ini difokuskan untuk penyandang cacat difabel yang memproduksi barang yang terbuat dari kayu yang nantinya bisa dipasarkan.
Delapan tahun sudah YPCM telah beroperasi. Beberapa kali pernah berpindah tempat, sebelumnya lokasi pernah di daerah Gabusan, Bantul. Kini YPCM telah memiliki gedung tetap yang beralamat di Jl. Parangtritis, Km 7, Cabean, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Gedung baru ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap dan halaman yang cukup luas. Terdiri dari ruang kantor, ruang sorum untuk menjual barang produksi, ruang tempat tinggal, ruang alat-alat produksi dan halaman belakang untuk oven kayu.
Pengurus yayasan ini pun silih berganti. Bergabung sejak 2014, Joko Purwadi (59) menjadi ketua kepengurusan yayasan. Beliau adalah purnawirawan TNI Angakatan Darat yang dulu pernah ditugaskan di daerah Kalimantan Timur. Kepeduliannya terhadap sesama kaum difabel mengantarkannya ikut bergabung dalam yayasan. “jaminan kesehatan masih kurang diperhatikan untuk kaum difabel” ujar Joko. Ia sangat memprihatinkan kondisi kaum difabel yang masih belum mendapatkan fasilitas maupun layanan yang layak. Padahal kaum difabel jika diberikan pelatihan nantinya akan memiliki kemampuan yang tak kalah dengan orang biasa pada umumnya. Oleh karena itu, Joko akan selalu menyemangati dan mendukung kegiatan para penyandang disabilitas yang berkegiatan di YPCM.
“Ngeeeeeng, ngeeeng, ngeeeng” terdengar suara gergaji mesin dari kantor depan. Membuat penasaran apa yang dikerjakan para penghuni yayasan. Kaki pun melangkah ke ruangan produksi. Memang ternyata benar adanya mesin gergaji, pemotong dan penghalus kayu sedang dioperasikan. Ada beberapa yang duduk di bangku kayu bergurau dan mengamplas kayu-kayu pesenan pelanggan. Mengerjakan produksi dengan santai dan penuh tawa adalah suasana yang dirasakan saat itu.!break!
Makin dekat melangkah, mengobrollah dengan Daliman (57). Pria berkulit sawo matang, murah senyum dan senang bermain catur ini adalah salah satu pengrajin difabel yang aktif di YPCM. Daliman merupakan salah satu korban gempa Yogyakarta yang lumpuh. Dia tertimpa tembok saat akan melihat jam dinding di rumahnya sebelum berangkat kerja. Tulang belakangnya kini lumpuh. Namun Daliman tetap bersemangat untuk menjalani keseharian kehidupannya. Pria beralamat di Jonggrangan, Srihardono, Pundong ini bergabung dengan YPCM dua tahun setelah gempa Yogya melanda. Ia mulanya hanya mengikuti pelatihan selama tiga bulan hingga akhirnya memutuskan bergabung dengan YPCM.
Samiran, seorang ibu yang berusia 55 juga turut mengisahkan tentang kejadian tanggal 26 Mei 2006 itu. Samiran juga tertimpa tembok rumahnya di Tangkil, Srihardono, Pundong. “Tak sengkakke mlaku tapi koyo digendoli” (aku paksa berjalan tapi berasa seperti ada beban) ujarnya. Setelah siuman karena pingsan di rumah sakit ia baru sadar bahwa pergelangan kaki kanannya diamputasi. Tak cukup itu, ia pun kehilangan anak sulungnya. “Ibu kaget, ingin marah tapi marah kepada siapa” isah Samiran sambil mengusap air matanya yang menetes. Beberapa hari ia trauma untuk pulang ke rumah. Samiran bergabung dengan YPCM tahun 2009 sama seperti Daliman, setelah mengikuti pelatihan dari yayasan.
Bersyukur atas apa yang kita miliki dan mengerjakan sesuatau dengan ikhlas. Pelajaran ini yang saya petik dari persinggahan ke YPCM. Seolah bertemu dengan veteran-veteran perang yang masih berjuang demi keluarga tercinta mereka.