Britain Exit atau Brexit menuai banyak tanggapan dari masyarakat dunia, terutama Inggris sendiri. Media sosial pun menjadi medium terbesar yang akhirnya menjadi penyalur aneka respon, baik negatif maupun positif.
Penggunaan media sosial sebagai wadah untuk menuangkan respon atas aksi Brexit tersebut kini cenderung dipenuhi cacian dan makian. Sebagian besar reaksi negatif yang ditunjukan oleh para netizen mengarah pada tindakan rasisme.
Media yang paling banyak digunakan untuk menunjukan sikap rasisme tersebut adalah Facebook dan Twitter. Kebanyakan konten negatif berisi caci maki itu ditujukan pada masyarakat keturunan Asia, Afrika, maupun masyarakat asal negara Eropa lain.
Menanggapi respon-respon negatif yang muncul di media sosial, sebuah akun di Twitter memunculkan tagar #postrefracism. Pada akun dengan nama yang sama dengan tagar tersebut, tercatat berbagai insiden terkait rasisme yang terjadi di Inggris.
Selain Twitter, seorang perempuan bernama Sarah Child membentuk sebuah grup bernama Worrying Signs (petunjuk yang mengkhawatirkan) pada Minggu (26/06/2016) lalu. Grup tersebut menjadi ruang bagi orang-orang yang merasa tidak aman tinggal di Inggris saat ini akibat dari Brexit.
Tak hanya media sosial, tindakan kekerasan bermotif rasisme juga dilakukan secara terang-terangan oleh kelompok-kelompok orang yang tidak menyukai keberadaan imigran. Komunitas Polandia menjadi sasaran empuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut.