Pengadilan di Pakualaman, Inspirasi Sistem Peradilan Jawa di Era Kolonialisme

By , Senin, 1 Agustus 2016 | 10:00 WIB

Tanah Jawa di masa kolonialisme ternyata memiliki sistem peradilan yang telah berjalan dengan baik. Sistem peradilan ini mempunyai pembagian tugas yang sudah terstruktur sehingga masyarakat merasa terjamin dengan hukum yang berlaku saat itu.Kadipaten Pakualaman merupakan salah satu kerajaan di tanah Jawa yang memperkenalkan tata peradilan terstuktur di wilayahnya. Pakualaman mulai menyelenggarakan sistem peradilan di dalam wilayahnya yang dimulai pada pemerintahan Pakualam V. Di bawah kepemimpinannya, Kadipaten Pakualaman memiliki berbagai aturan. Pakualam V juga menjadi pioneer dalam mengimplementasikan sistem pembagian kekuasaan yang merupakan perpaduan dari kepemimpinan tradisional dan modern yang didukung dengan pelaksanaan hukum yang baik.

(Baca : Kilas Balik: Pisowanan Agung Rakyat Yogyakarta di Alun-alun Utara 20 Mei 1998)

"Pemimpin Kadipaden Pakualaman ini dikenal sebagai raja yang memiliki pemikiran modern." jelas Galuh Ambar Sasi, penulis Makalah "The Image of Javanese Women on the Affidavit" saat di temui Kompas.com dalam acara Konferensi Gender, Household, Labour Relations and (Post) Colonialism, 1800-present Selasa (26/7/2016) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.Dalam makalahnya, ia menjelaskan Pakualam V membuat pengadilan bagi masyarakat lokal untuk mengatasi permasalahan di wilayah Pakualaman. Pengadilan ini dijalankan oleh Jaksa Ageng Pradata Pakualaman yang dibantu oleh dua jaksa penuntut umum dan 6 Jagalatri yang berperan sebagai polisi.!break!

Pengadilan di Pakualaman terus berkembang dan terus diperbaharui ketika era Pakulaman VII dengan mengimplementasikan peraturan baru serta membagi pengadilan kedalam 3 bagian. 

Tiga bagian itu adalah Pengadilan Pradata, yang mengurusi kejahatan, kekerasan serta perselisihan yang terjadi di keluarga kerajaan, Pengadilan Surambi yang mengurusi perceraian, perselingkuhan serta harta gono-gini, serta Pengadilan Gubernemen yang mengurusi orang-orang pribumi dan non pribumi.

Menggunakan referensi arsip-arsip kuno dari Perpustakaan Pura Pakualam Yogyakarta, Galuh menemukan beberapa contoh kasus yang pernah terjadi sepanjang era kepimimpinan Pakualam V-Pakualam VII.

(Baca pula : Adat Keraton Pura Pakualaman Siapkan Anak Jalani Hidup)Arsip ini merupakan Proses Verbal, pernyataan tertulis yang dibuat oleh seseorang yang telah disumpah untuk mengatakan yang sesungguhnya. Proses Verbal ini juga digunakan sebagai bukti di pengadilan. Saat ini Proses verbal dikenal sebagai Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Proses Verbal ini berisi catatan mengenai lokasi, waktu, informasi dan petunjuk lainnya. Selain itu Proses Verbal ini juga memuat memuat dialog antara polisi dan pelapor yang kemudian di bandingkan dengan pernyataan dari saksi.

!break!

Selanjutnya Proses Verbal dibagi menjadi dua kolom kolom pertama disebut Pandangon atau pertanyaan polisi dan kolom kedua disebut Atoeran atau jawaban dari terdakwa, penggugat atau saksi. (Baca juga : Gempita Rakyat Menyambut Adipati Baru Pakualaman)"Proses Verbal di jaman Pakualam V-Pakualam VII sangat menarik karena polisi tidak membeda-bedakan dalam menangani perkara hukum. Termasuk kasus yang diadukan oleh masyarakat kelas bawah juga tetap di selesaikan," kata Galuh. Beragam kasus hukum berhasil diselesaikan oleh penegak hukum mulai dari dari jual beli, perselisihan tanah, rumah tangga, perceraian dan perselingkuhan, pajak dan hutang piutang. "Kita bisa belajar banyak hal dari referensi sejarah yang ada. Sayangnya memang masih banyak menggunakan aksara Jawa dan bahasa Belanda. Itu menjadi tantangan menjadi tantangan tersendiri," tambah Galuh.Kadipaten Pakualaman berdiri pada akhir abad 19 yang merupakan bagian dari kontrak politik antara pemerintah Inggris dan Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Paku Alam untuk mengurangi kekuatan dari Hamengku Buwono II. Dalam perkembangannya, Pakualaman menjadi kerajaan kecil yang modern di Hindia Belanda.