Industri peternakan babi rupanya mampu menghasilkan energi yang berguna bagi banyak orang. Setidaknya kotoran mereka mampu menjadi energi bagi 800 rumah dalam setahun.
Ketika badai Floyd menyapu laguna dan menenggelamkan banyak babi di peternakan Karolina Utara tahun 1999, hal tersebut membawa kekacauan yang akhirnya melepaskan moratorium baru untuk peternakan babi dan lagunanya. Namun peternakan tersebut kembali diminta untuk memperhatikan lingkungan dan kesehatan oleh masyarakat sekitar dan kelompok non profit.
Bagi seorang teknisi bernama Gus Simmons, tidak ada limbah yang dihasilkan dari laguna itu, namun lebih pada energi yang terbuang dari sana.
Sebagian besar gas yang keluar dari laguna tersebut mengandung gas metana. Hal tersebut berpotensi untuk menghasilkan gas efek rumah kaca.
Peternak babi dan sapi telah memanfaatkan gas yang dihasilkan sejak krisis energi tahun 1970-an. Peternakan di Iowa adalah yang pertama kali menggunakan gas tersebut untuk menggerakkan tenaga listrik.
Simmons dan rekan-rekannya di Wilmington, N.C mendesain sebuah biodegister yang mengolah biogas dari kotoran babi, yang 65 persen merupakan metana.
Ia sendiri hendak meletakan alat tersebut di lima peternakan tanpa memungut biaya kepada peternak. Gas yang dikeluarkan akan disalurkan dengan meningkatkan kualitas pipa saluran.
Gas karbon-netral akan dialirkan pada pipa saluran gas utama ke dua mesin yang kemudian dikombinasikan untuk menghasilan energi di area tersebut.
Perusahaan Simmons ini bukan lah yang terbaru dalam bisnis energi kotoran babi. Ia juga membangun Duke Energy, Duke University, dan Google, dekat peternakan babi dekat Yadkinville di barat North Carolina lima tahun lalu.
"Sistem itu menghasilkan sejumlah manfaat bagi para peternak," ujar Simmons.
Namun, mereka sendiri tetap harus menghadapi siswa pembakaran di laguna, yang membawa cukup banyak polusi besi berat ke sungai.
Meski energi yang dihasilkan dari kotoran babi tersebut membawa manfaat lewat energi yang dihasilkan, namun sejumlah asosiasi hewan justru menentang sistem tersebut.
Pietrosemoli-Castagni dan rekannya di Center for Ecological Farming Systems di Goldsboro, North Carolina, mengungkapkan bahwa babi yang tumbuh di padang rumput dan model penggembalaan tradisional di Spanyol dan Italia mampu menghasilkan daging babi yang paling dicari dunia.
"Ketika kawanan babi berada di luar, mereka mampu mengekspresikan perilaku asli mereka. Mereka adalah hewan sosial, sama seperti manuisa, dan padang rumput memberikan mereka kesempatan untuk lebih dekat dengan keluarga mereka."