Diadakan Di Banyuwangi, Ritual Ngaben Ini Tanpa Pembakaran Jenazah

By , Sabtu, 6 Agustus 2016 | 09:00 WIB

Ratusan umat Hindu di Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar Upacara Entas-Entas atau Ngaben Jawa di Desa Kumendung, Kecamatan Muncar, Kamis (4/8/2016).

Upacara tersebut diawali dengan ritual di pemakaman umum Hindu yang dipimpin oleh tiga pandita Hindu Jawa, yaitu Romo Ageng Wijoyo Buntoro dari Sidoarjo, Romo Rsi Hasto Dharmo dari Sidoarjo, dan Romo Rsi Rahmadi Dharma Catur Telaba dari Batu, Malang.

Ada beberapa sesaji yang digunakan dalam acara ini, antara lain nasi tumpeng buceng, tumpeng golong, tumpeng pengentas, tumpeng brok, polo pendem (ubi ubian dan kacang kacangan), polo gemantung (buah-buahan), dan sesaji pisang serta kelapa.

"Upacara ini untuk ngentas atau mengangkat leluhur atau sawa. Total ada 214 jiwa dari 43 keluarga yang diangkat dan dipindah ke Candi Moksa Jati yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari pemakaman Hindu di sini," kata Oentoeng Margiyanto, sesepuh umat Hindu, kepada Kompas.com, Kamis (4/8/2016).

Berbeda dari ngaben di Bali, ngaben yang dilakukan pertama kali di Banyuwangi tersebut tidak melalui proses pembakaran jenazah.

Prosesinya sederhana, bebantenan atau sesaji yang digunakan juga sederhana dan seluruhnya menggunakan budaya Jawa.

"Puncaknya adalah seluruh sawa atau leluhur yang disimbolkan dengan kendil diisi dengan bunga dan dibungkus kain putih. Setiap ahli waris membawa kendil masing-masing menuju candi dengan arak arakan dan diiringi dengan gamelan Bali," ujarnya.

Tiba di candi, para keluarga seluruh umat melakukan murwa daksina (keliling) candi sebagai simbol leluhur jika telah menjalani upacara entas-entas.

"Artinya, kita telah angkat jiwa leluhur ke planet yang lebih tinggi, bahkan moksa," kata Oentoeng.

Acara ditutup dengan persembayangan bersama. Untuk mengikuti upacara entas-entas, masing masing kepala keluarga (KK) membayar Rp 300.000.

"Biayanya sangat murah dan ini gotong royong. Sangat terbantu, prosesnya juga tidak ribet, tapi maknanya sama dengan ngaben yang ada di Bali. Sengaja ikut karena ini pertama kali di Banyuwangi," jelas Diah, salah satu umat Hindu yang ikut upacara tersebut.

Ia mengatakan, upacara tersebut tidak mengurangi makna upacara pitra yadnya atau penghormatan ke leluhur.