Pria yang Tak Pernah Menyesal Atas Pengeboman Kota Hiroshima

By , Rabu, 10 Agustus 2016 | 18:00 WIB

Dari banyak tokoh yang berperan dan memiliki pengaruh atas nasib kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang, setidaknya ada satu orang yang merasa bahwa pengeboman dengan bom atom tersebut harus dilakukan yang mengakhiri Perang Dunia II itu.

Orang itu adalah pilot Paul Warfield Tibbets, Jr. Bersama dengan 'Enola Gay', pesawat bersejarah yang mengusung nama gadis sang ibunda, ia dan awaknya menjatuhkan bom atom di dunia pertama kalinya, tepat pukul 09.15 pada 6 Agustus 1945 silam.

Presiden Amerika Harry S. Truman akhirnya memberikan persetujuan penggunaan bom atom untuk melenyapkan bumi Jepang. Pada 5 Agustus 1945 sore, 'Enola Gay' bersama Tibbets melakukan lepas landas dengan perubahan ekor pesawat untuk mengelabui musuh.

'Enola Gay' pun kembali mendarat di Tinian pukul 02.58 siang. Tibbet bersama awak lainnya langsung diganjar Distinguished Service Cross yang disematkan langsung Jenderal Spaatz.

Lewat aksinya dalam mengakhiri Perang Dunia II, Tibbets dikenal sebagai salah satu pilot yang diagung-agungkan dan memperoleh kehormatan dalam Nation Hall of Fame. Di luar itu semua, nyatanya banyak pihak yang menganggap aksi Tibbets jauh berseberangan dengan nilai kemanusiaan.

Menanggapi hal tersebut, Tibbets justru mengungkapkan betapa pentingnya aksi pengeboman itu dilakukan pada Jepang. Dirinya tak pernah merasa menyesal atas aksi yang ia lakukan atas nama negara tersebut.

"Kita tidak pernah bertempur dalam perang dimana pun juga tanpa membunuh orang tak bersalah," ujarnya dalam sebuah pernyataan.

Tibbets menganggap banyak media yang melontarkan banyak bualan. Koran-koran membuat pemberitaan yang membuat dirinya menjadi sosok yang disalahkan dan turut bertanggungjawab atas pengeboman kota Hiroshima.

"Seandaikan koran menghentikan bualan:'Anda telah membunuh banyak orang sipil di sana.' Adalah nasib sial mereka karena berada di sana," ujar Tibbets kala itu.

Bagi pria berpangkat brigadir jenderal purnawirawan Angkatan Udara yang meninggal tahun 2007 silam tersebut, apa yang dilakuan olehnya dan negara adalah sebuah keharusan untuk mengurangi bertambahnya pertumpahan darah. Dengan dijatuhkannya bom tersebut, Ia percaya bahwa hal tersebut akan menyelesaikan perang secepatnya.