Beberapa pawang yang tidak mendapat tugas piket malam, seperti Hendra, Sapari, Coy, dan rekan-rekannya sudah tuntas mengandangkan gajah-gajah sumatra di lingkungan konservasi Way Kambas, setelah sebelumnya dimandikan dan diberi asupan nutrisi.
Meski tanpa angka eksak, secara kasat mata dapat diungkap betapa hiruk pikuknya rumah para gajah sumatra di PKG Way Kambas, pada hari perdana di tahun baru 2009 silam.
Sebelum mencapai gerbang masuk di Plang Ijo, kemacetan hampir 0,5 km. Bus pariwisata dan mobil-mobil jenis mobil keluarga berlomba masuk gerbang. Tak terbayang, berapa orang yang siap menyesaki Way Kambas.
Untuk mencapai kantor Pusat Latihan Gajah Way Kambas, harus mengarungi kerumunan pengunjung serta dereta mobil yang diparkir rapat. Bahkan ada beberapa truk terbuka diberi penutup terpal plastik. Juga buat mengangkut penumpang.
Pada saat Tahun Baru dan Lebaran, hiburan bagi warga sekitar daerah sana hanyalah Way Kambas atau laut. Warga yang tinggal di area gunung berlibur ke pantai, sebaliknya orang-orang yang tinggal di pesisir berlibur ke Way Kambas.
Tahun 2009 merupaka kuliminasi keramaian yang membuat kami terperangah dan meradang. Jumlah 61 ekor Elephas maximus sumatrensis dengan komposisi 23 betina,38 jantan, serta 4 ekor di antaranya adalah balita, sama sekali tak sepadan dengan ratusan manusia yang membanjiri Way Kambas.
Tikar-tikar yang digelar pengunjung untuk menikmati santapan piknik, kereta gandeng mini hilir mudik mengantar tamu dari dan ke lokasi atraksi gajah. "Dulu sekitar 1995an, jumlah pengunjung lebih heboh lagi. Parkir mobil sampai depan sini,"cerita Mas Coy seraya menunjuk barak para pawang PLG Way Kambas yang terletak di depan ceruk buatan tempat minum dan memandikan gajah.
Rahwan, Koordinator Pusat Konservasi Gajah Way Kambas memimpin langsung kegiatan membersihkan kawasan konservasi. Segala macam bekas sampah dikumpulkan. Tong-tong sampah dikosongkan agar bisa menampung sampah baru.
"Kami di sini berupaya semaksimal mungin dan hendaknya pengunjung juga membantu. Kami juga membuka diri terhadap saran dan ide positif untuk masa depan dan kelanjutan hidup para gajah di sini," ujar Rahwan. "Ini merupakan sebuah langkah pembenahan."
Nazarudin, Kepala Urusan Humas dan Kerjasam PKG dan Ketua Forum Komunikasi Mahout Sumatra/Indonesia mengungkapkan perlunya sosialisasi waktu berkunjung. Sebuah langkah agar satwa langka itu tidak dieksploitasi.
Dengan prinsip analogi kesetaraan dan keselarasan satwa dan manuisa, bisa dimaknai betapa arif dan permisifnya para satwa yang masuk status terancam punah itu.
Sebagai hewan nokturnal, mereka dipaksa mebelalakan mata siang hari. "Itu sebabnya, kadang terlihat air mata menetes di pelupuk gajah," kata Pawang Sapari dan Pawang Hendra.