Dari Kamar Kos ke Dapur Nasionalisme

By , Rabu, 17 Agustus 2016 | 07:00 WIB

Ketika bertemu Novia dan Airin di Ruang Kongres Pe­muda, saya merasa para tokoh yang hadir dalam foto-foto dokumentasi dan diorama dalam ukuran sebenarnya itu benar-benar “hidup”. Seakan ada benang merah yang terus terbentang antargenerasi ketika saya sadari ini: Sumpah Pemuda 1928 yang diikrarkan di gedung ini, diawali dari bincang-bincang pelajar dan mahasiswa yang in de kost—tinggal dan bayar sewa­­­—di rumah milik Sie Kong Liong yang berdiri sejak 1908 ini.

Novia dan Airin adalah teman  kos ke­tika kuliah di Universitas Indo­ne­sia, Depok, Jawa Barat. Suatu kebetulan? Terlalu dihubung-hubungkan? Entah­lah, sudahlah. Yang pasti, pertemuan de­­ngan mereka mem­buat kunjungan sa­­ya kali ketiga ke mu­seum ini jadi le­bih bermakna. Bukan se­kadar meman­dang koleksi benda mati, tetapi men­cermati in­fo yang tertera dalam su­asana su­nyi.

Saya menerobos ke lorong waktu. Di awal abad ke-20, Jalan Kramat Raya, lo­kasi rumah berlantai satu ini telah ja­di ja­lur utama kawasan niaga. Tentu be­lum se­riuh kini ketika deru Busway, Mik­rolet, Metromini, Patas, PPD, sepeda mo­­­­tor, mobil pribadi bersaing kencang. Du­­lu, ketipak kereta kuda dan dering bel ke­­­reta angin (sepeda) mungkin sesayup men­capai ruangan dalam. Saat itu, teras rumah jauh lebih tinggi dari jalan, tak se­jajar jalan lebar yang dilapisi aspal.

Sa­­ya disambut tegel flora pe­nuh warna dan meja kursi kuno. Terperangkap ke­­me­­riahan ru­ang utama, 1908–1934, ge­­dung ini disewa siswa sekolah dok­ter dan ahli hukum pribumi, School  tot  Opleiding van Inlandsche Artsen (STO­­VIA), dan Rechtshoogeschool (RHS). Juga jadi arena main biliar, per­­­­kum­­pulan dis­kusi Jong Java, dan latihan  ke­senian Jawa hingga dijuluki Com­men­salen Huis atau Langen Siswo.

Ruang utama yang kini dijaga dua pa­­tung Soegondo Djojopoespito dan Mohammad Yamin, ketua dan sekretaris Kong­­res Pemuda II/1928, tersaji info, fo­to panitia, peserta dan jalannya kong­res. Semuanya tak lahir dalam seke­jap. Sa­ya pun mengalir ke kiri, ke Ruang Per­himpunan Organisasi, cikal bakal per­sa­tuan pemuda.

Lahirnya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 oleh senior perintis—Wahidin Soe­­dirohoesodo, dr. Soetomo, dr. Tjipto Mangunkusumo—mengilhami pemuda Soe­karno membentuk Tri Koro Dharmo (tiga tujuan suci, 1915) yang berkembang jadi Jong Java, Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Sekar Roe­koen (1919), Jong Ambon (1923), Jong Ba­taks Bond (1925), Perhimpunan Pelajar In­­­do­nesia (PPPI, 1926), dan Pemoeda Ka­­­oem Betawi (1927). Saya amati foto pa­­­ra pelajar Hindia Belanda yang kuliah di Negeri Belanda macam Mohammad Hat­ta yang juga membentuk persatuan pe­lajar.  Meski berbeda latar belakang dan dari tempat yang berjauhan, se-mangat me­­reka mengerucut: cita-cita Persatuan Indo­nesia, yang tercetus pada Kongres Pe­­­muda I/1926 di Jalan Boedi Oetomo I—ki­ni Gedung Kimia Farma.

Hari-hari diisi belajar dan bekerja keras, dan debat politik. Tapi, pernak-per­nik P3K, seragam dasi, bendera INPO (or­ganisasi Pandu nasional Indonesia) dan foto kelompok jazz, menunjukkan, masa muda pun diisi minat khusus.

Terbayang bagai­mana mereka mengundang Bung Kar­no dan tokoh Algemeene Studie Club Bandung—lewat telepon engkol, su­­­rat atau telegram.

Pasca Kongres Pemuda I, sejak 1927, gedung ini jadi Indonesische Club­huis (Clubgebouw), tuan rumah pertemuan or­ganisasi penggerak paham kebang­sa­an. Novia dan Airin sesekali menengok gawai cerdas mereka, di se­­la membidikkan kamera ke koleksi, bah­kan bergantian berfoto. Para pemuda tem­po doe­loe, yang je­jaknya sedang ka­mi runut ini, pasti perlu waktu lebih panjang dan cara lebih rumit untuk tetap terhubung menjaga semangat yang sama. Terbayang bagai­mana mereka mengundang Bung Kar­no dan tokoh Algemeene Studie Club Bandung—lewat telepon engkol, su­­­rat atau telegram. Di sinilah pada 15 Agus­­tus 1928, diputuskan digelar Kong­res Pe­mu­da II pada Oktober.  Selangkah ma­ju dibanding hasil Kong­res I, menepis per­bedaan sem­pit kedaerahan demi persa­tuan bangsa Indonesia.

Kami melangkah ke teras belakang, yang pada 28 Oktober 1928 disesaki oleh 70-an peserta Kongres Pemuda II. Sum­pah Pemuda yang mempertegas tu­juan me­nuju Indonesia bersatu yang merdeka itu dirumuskan di sini. Ada diorama me­ja sidang dengan pa­tung panitia Kong­res dalam ukuran sebenarnya: ke­tua Soe­gon­do Djojopuspito (PPPI), se­kre­taris Mohammad Yamin (Jong Suma­tranen Bond) dan wakil organisasi. La­mat-la­mat, saya uji daya ingat tentang kali­mat-kalimat M. Yamin yang pernah sa­ya hapal saat di SD itu.

“Pertama, Kami Putra dan putri Indo­ne­sia, mengaku bertumpah darah yang sa­­tu, tanah air Indonesia/ Kedua, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku ber­­bangsa yang satu, bangsa Indonesia/ Ke­ti­ga, Kami putra dan putri Indonesia, men­­junjung tinggi bahasa persatuan, ba­ha­sa Indonesia.”

Inilah hasil tiga hari kongres yang mem­­bahas persatuan Indonesia mesti di­du­kung sejarah, bahasa, hukum adat, pendi­dikan dan kemauan. Bahwa anak harus dididik demokratis di se­ko­lah dan di rumah. Bahwa gerakan Ke­pan­du­an men­didik disiplin mandiri da­lam per­ju­angan. Yang unik, tekad men­jun­jung ba­hasa persatuan, Bahasa Indo­ne­sia, di­cetuskan dengan notulen berba­ha­sa Belanda. Tetapi Yamin sang sastra­wan yang menguasai Bahasa Indo­nesia ber­peran bila ada yang perlu diter­jemahkan dalam bahasa Indonesia.

Ada lemari kaca penyimpan pernik pen­­ting. Di antaranya, tiruan biola Wage Rudolf Supratman untuk mengalunkan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang mem­­banggakan itu.

Kemampuan diplomasi pun teruji. In­do­­­nesia Raya bukan dinyanyikan. Soe­gondo, ketua kongres, membisikkan WR Su­pratman untuk memperdengarkan Indo­­nesia Raya hingga kata-kata “Indo­nesia Raya” dan “Merdeka” tak jelas ter­tangkap polisi rahasia Hindia Belanda. Ini mencegah kongres dibubarkan atau pe­serta ditangkap. Benar-benar cerdik. Partitur dan teks Indonesia Raya terlukis be­sar di dinding di belakang diorama. Ge­dung yang sempat beralih jadi toko bunga (1937–1948), Hotel Hersia (1948 – 1951), dan Kantor Inpeksi Bea & Cukai (1951 – 1970) dikukuhkan jadi Museum Sum­pah Pemuda sejak 1973.

Museum ini menghargai peran pemu­da sebagai rentang peristiwa yang tak per­nah mati. Di pavilion belakang, ada ruang Ampera 1966 dan Reformasi 1998. Saya, Novia dan Airin yang belum lahir kala dua peristiwa pertama, bisa menangkap dina­mika berbangsa. Melangkah keluar gerbang Museum, sebagian trotoar ja­di la­han usaha kendaraan bermotor, di­lin­tasi pedagang keliling, pemulung dan pengemis. Museum ini menyatu de­ngan ke­giatan dan nasib warga yang diper­juangkan lebih dari 90 tahun silam.