Telusur Gua Jepang dan Belanda di Bandung

By , Rabu, 17 Agustus 2016 | 08:00 WIB

Keadaannya mungkin serupa dengan 15 ta­hun lalu, ketika saya dan teman mengunjunginya. Saat itu, kami me­rasa hanya menelusuri lorong-lorong kosong. Tiada takut walau berdua saja, selain sejumlah pe­ngunjung. Ada cahaya cukup dari lampu-lampu. Tak terkesan gua yang lazimnya gelap pengap. Inilah bedanya gua alam dan buatan.

Gua Jepang di Taman Hutan Raya (Ta­­hura) Ir H Djuanda, 7 kilometer di utara Ban­dung itu gelap pekat. Kami menyewa tiga sen­ter. Menurut Pak Asep, penerang­an listrik di­hentikan.

Suasana justru lebih alami. Berdebar, kami masuki mulut gua berbatu-ba­tu. Sesungguhnya itu tanah yang se­ring ter­injak,  bergumpal-gum­pal mengeras bak batu. Seluruh gua berlorong tiga itu ber­lantai tanah. Digali pa­da 1942 sebagai persiapan meng­hadapi Sekutu: tempat sembunyi, gudang amunisi dan radio ko­mu­­nikasi. Sang penggali: Romusha —rakyat Indonesia yang dikerja paksa. Gua ini hanya sampai satu sisi, tak tembus bukit.  Ada suara-suara di langit gua: kelelawar-kelelawar kecil rehat menunggu senja berburu.

Kami dapati lagi terang mentari. Menikmati hijau pinus (Pi­nus merkusii), kaliandra (Calliandra callo­thyrsus), bambu (Bambusa sp.) dan kicau­an burung sembari menapak bebe­rapa ratus meter me­nuju gua kedua, Gua Belanda.

Berdebar, kami masuki mulut gua berbatu-ba­tu. Sesungguhnya itu tanah yang se­ring ter­injak, bergumpal-gum­pal mengeras bak batu. Seluruh gua berlorong tiga itu ber­lantai tanah.

Suasananya lebih ra­mah. Dari pintu ma­suk, ada cahaya di ujung lorong. Gua ini menembus bukit. Sepasang mu­lut gua lebih kecil di ketinggian bak jendela, gua ini lebih bak benteng bahkan gudang karena berlapis tembok. Pada 1941, awalnya untuk terowongan penghubung PLTA Bengkok. Saat Pe­rang Pasifik me­nye­ret penjajah Indo­nesia selama 350 tahun itu, militer Hin­dia Belanda pun mengalih fungsi sebagai stasiun radio te­le­komunikasi mi­liter dan gudang senjata. Di dinding dan langit-langit tersisa besi-besi peng­gantung senjata aneka ukur­an. Di lantai mulut gua ter­tanam sisa rel lori pengangkut logistik dan amunisi.

Saya menghirup udara se­gar di luar. Sem­bari menyantap jagung bakar dan menyeruput teh hangat yang kami pesan dari ibu penjaja di wa­rung muka gua, sebelum menelusur lo­rong gelap itu, seje-nak saya tertegun-te­gun. Betapa Belanda dan Jepang, du­a tamu tak diundang bisa bersisian mem­pertahankan posisi. Wilayah indah ini me­mang pantas diperebutkan. Tinggal ba­gai­mana kita sa­ja kini merawat harta yang akhirnya kembali ke pangkuan ini.

Tahura yang diresmikan 14 Janu­ari 1985 dan bermula sebagai Wisata Alam Cu­rug Dago di ketinggian 770 – 1.330 m dpl ini kini bisa kita nikmati kein­dah­­asrianya di kesejukan 18-24°C. Men­cer­mati kekayaan fauna dan floranya hingga menjadi museum hi­dup, rasa­nya jadi lebih bermakna.

Bungker pertahanan militer tinggalan Jepang di Tahura Ir. Juanda, Bandung. (Toto Santiko Budi/National Geographic Traveler)