Catatan Tinta Emas Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

By , Rabu, 17 Agustus 2016 | 09:00 WIB

Yogyakarta adalah kota tempat saya dan keluarga bermukim sekian lama. Namun kami belum pernah mengunjungi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat se­cara mendalam. Maka berbekal  info dari internet dan  kerabat, kami  pun menghampiri kembali dengan sepenuh hati.

Keraton ini berada di pusat ko­ta, melintang di antara alir­­an Sungai Winongo dan Code. Dirancang Sri Sultan Ha­mengku Buwono I se­gera usai Per­­jan­jian Giyanti, 13 Februari 1755. Belum se­ta­hun,  Ok­tober 1756, pem­bangunan is­ta­na, ibukota dan bentang utama­ usai. Keraton ini per­nah berperan penting se­ba­gai pusat Kerajaan Mata­ram. Ketika Belanda membonceng Sekutu untuk menjajah lagi, 4 Janu­ari 1946, atas ja­min­an Sri Sultan HB IX, ibukota  RI  dipin­dahkan ke Yogyakarta.

Gunung Merapi,  elemen penting kosmologi Keraton, le­­tusan  diikuti gempa 1925 menghancurkan be­­be­rapa bagian penting keraton. Di  masa Sri Sultan HB VIII,   pemugaran berlangsung  6  tahun. Ham­pir 8 dekade kemudian, gempa Bantul 2006 merobohkan Bangsal Trajumas. Saat ini, tiga perem­pat area Ke­ra­ton ter­bu­ka untuk umum

Ada  dua pilihan pin­tu masuk: gerbang Pa­ge­laran atau Kompleks Sri Ma­nganti. Kami pilih  Gerbang Pagelaran di selatan Alun-Alun Utara, setelah mem­­beli tiket masuk me­lalui sisi barat. Bang­­sal besar Pagelaran, tempat digelar aca­ra besar Keraton, juga ruang pajang baju adat kerabat keraton.   Kami naiki tang­ga ke Sitihinggil (Ta­­nah Tinggi), singgasana penobatan ra­ja.

Bakti para Abdi Dalem: Pekerjaan rutin yang melibatkan cinta dan pengabdian terhadap istana. (Dwi Oblo/National Geographic Traveler)

Kami keluar lewat pin­tu yang sama ke­tika kami masuk menuju Kom­pleks Sri Manganti di  sisi  selatan Page­laran. Jalan cu­­kup padat oleh deretan bus pari­wisa­ta juga lapak benda kenangan. Di meja pembelian tiket, saya meminta ja­­sa pemandu wisata. paruh baya

Bangsal Sri Ma­­­nganti di sisi kanan, tempat pentas seni per­tun­jukan bagi pe­­ngunjung—sendratari, wayang orang, ma­­capat (tembang puisi Jawa), wa­yang golek. Di seberangnya, Bangsal Tra­ju­mas tempat Gamelan Kiai Guntur Madu (asal Demak berusia 500-an tahun) dan Kiai Naga Wilaga (Yogyakarta,  250-an tahun). Pada Grebeg Maulud (perayaaan hari lahir Nabi Muhammad SAW) ti­ap ta­hun, sepasang gamelan ini di­mainkan di Masjid Agung atau Gedhe Keraton Nga­yogyakarta Hadiningrat. Se­lepas ger­bang utama Ger­­bang Danapratapa, meski matahari terik, terasa se­juk kare­na di ba­­nyak sudut tumbuh po­hon sawo ke­cik dan jambu bol. Taman terawat ba­ik.

Ada beberapa bagian yang hanya bisa dili­hat dari kejauhan. Antara lain, Gedhong Jene, yang khusus Sri Sultan HB X sediakan bagi tamu kenegaraan; Gedhong Purworetno, ruang ker­ja Sultan sebagai Raja Yogyakarta, se­dang­kan sebagai Gubernur Provinsi DIY  di Kompleks Ke­pa­tihan Jalan Malio­boro. 

Bangsal dan pengurus keraton: Ruang-ruang fungsional senantiasa diperhatikan dan dijaga. (Dwi Oblo/National Geographic Traveler)

Yang juga hanya bisa dilihat dari kejauhan, Bangsal Ken­cana dan Bangsal Manis untuk ja­muan kenegaraan. Hirarkie ke­­ra­jaan dapat dilihat di Bangsal Ken­­ca­na, joglo tiga lantai. Yang ter­atas,  bagi Sultan dan tamu setingkat pimpin-an ke­ra­­jaan atau pemerintahan; ke­dua,  untuk pangeran dan puteri—adik lelaki dan perempuan Sul­tan; terbawah, untuk abdi dalem bergelar tertinggi Kanjeng Raden Tu­meng­gung (KRT). Abdi dalem tanpa ge­lar hanya sebatas luar bangsal.

Kaputren,  tem­pat tinggal putri  Sul­tan hanya dapat dilihat da­ri keja­uh­an, mengingat Sri Sultan HB  X memiliki dua putri yang masih tinggal di sana. Tapi  Bangsal Kasatrian  untuk latihan ta­ri tiap Minggu terbuka ba­gi umum.

Kami senang bisa melihat lebih dekat sebagian besar bangunan dalam keraton sebagai museum benda bersejarah Kera­ton, didominasi peralatan makan hadiah negara kerabat, seperti Prancis, Belgia, Belanda, Italia, Jepang, China, Malaysia. ”Pada peristiwa khusus, koleksi ini ma­sih digunakan dalam jamuan makan,” jelas Endang Pur, pemandu.

Ada koleksi  kursi Sri Sultan HB  VII dan permaisuri. Dari ukurannya, bisa di­bayangkan sosok Sultan tinggi be­sar.  Ko­leksi batik motif khas kerajaan cu­kup menarik berkat penyandingan do­ku­­mentasi foto ketika kain batik dike­nakan pada peristiwa khusus seperti per­­­nikahan putra-putri, supitan/ khitan, nu­juh bulan kehamilan permaisuri atau put­ri, tedhak sitèn (upacara bayi per­tama kali menginjak tanah).

Di ruang koleksi lukisan, beberapa kar­ya maestro Raden Saleh tersimpan, sa­­lah satunya lukisan potret diri Sri Sul­­tan HB VI.  Sayangnya tak cukup te­­r­awat baik—terlebih di daerah tropis ber­­kelembaban tinggi, tak ber-AC. Si­ang itu, lampu neon tak menyala. Andai sa­ja tiap lukisan dilengkapi lampu sorot, wa­jah-wajah itu  bisa kami nikmati.            

Agaknya wajar jika selama ini kami be­lum pernah mengunjungi Keraton se­­cara “serius.” Sejatinya banyak informasi ritual yang menarik diketahui. Misalnya, tiap hari pukul 11.00 WIB, beberapa abdi dalem wanita mengantarkan teh dan ko­pi dari Gedhong Patehan (Tempat Pe­nya­jian Teh) ke Keraton Kilen—kedi­aman Sultan.

Di empat bagian ba­­ngunan keraton, kami mendapatkan secara lengkap paparan informasi, dokumentasi, memorabilia Sri Sultan HB IX.  Ada pakaian-pa­kai­an pakaian kerajaan, supitan, se­pak­bola dan berkuda, seragam pandu; kur­si, me­ja kerja; lencana tanda jasa, ke­­hor­matan dan dokumentasi foto, kli­ping koran, ser­tifikat kelulusan studi di Ne­geri Belanda, hingga surat keputusan peng­anu­gerahan gelar Pahlawan Nasio­n­­al se­telah beliau wafat.