Senja Kemenangan di Istana Merdeka

By , Rabu, 17 Agustus 2016 | 17:00 WIB

Melangkahkan kaki melewati kem­bali pintu gerbang Mas­jid Baiturahhim menjelang tengah hari, kami merasakan paparan surya sekadar menghangat. Lindungan pepohonan raksasa di sekitar masjid yang berada dalam Kompleks Istana Merdeka, Jakarta, memberi keteduhkan. Sebelumnya, sekitar tiga puluh menit lalu, kami telah melalui pintu gerbang yang sama untuk mengawali tur singkat di Istana Merdeka.

Begitu singkatnya, hingga para pengun­jung, termasuk kami, hanya sempat ber­fo­to bersama di tangga—layaknya anggota dewan pemerintahan, lalu memasuki ba­­gi­an dalam istana, melewati serambi halaman tengah dan Istana Negara, dan meng­akhiri tur melewati koridor di sisi Wis­ma Negara yang menampilkan kolase foto kegiatan Presiden dan Ibu Negara Republik Indonesia (RI).

Bahkan penuturan sejarah istana pun ka­mi peroleh melalui tayangan video di ruang tunggu bagi para pengunjung, yang mengisahkan tentang pembangunan is­tana oleh arsitek Ir HM Debbete JB Dros­sa­res, pada akhir abad 19, atas prakarsa Ir Couvee Djen. Istana bergaya neoklasik yang megah dan anggun ini merupakan ke­diaman resmi para petinggi sejak za­man Hindia Belanda hingga Indonesia Mer­deka, dari Gubernur Jenderal Jacob Andries van Braam hingga Ir Soekarno dan Abdurrahman Wahid.

Seiring pengibaran ben­dera Merah-Putih ke puncak tiang, ter­­dengar kumandang lagu kebangsaan In­donesia Raya dan pekik, ”Merdeka! Mer­deka! Hidup Indonesia!” memenuhi ha­laman istana yang kala itu bernama Is­tana Gambir.

Selama tur yang berlangsung singkat itu, hanya sekelumit kisah yang dapat ka­mi simak dari pemandu tur istana ten­tang eksterior dan interior, serta fungsi ru­ang demi ruang dalam istana, yang me­nyimpan koleksi benda seni legendaris, antara lain lukisan Pangeran Dipenegoro, pa­tung sang Proklamator Ir Soekarno dan Mohammad Hatta, juga Jenderal Su­dirman. Bendera Pusaka dan naskah asli Prok­lamasi Kemerdekaan disimpan di be­kas kamar Soekarno. Sepuhan kuning ke­emasan yang mendekorasi mebel dan interior, menyilaukan indra penglihatan kami, yang tak terbiasa melihat nuansa keme­gahan dan keanggunan setegas itu sehari-hari.

Sejatinya, Istana Merdeka me­­nyim­pan memoar kemenangan per­ju­­angan bangsa, sebagaimana kami keta­hui dari literatur, koleksi buku-buku ber­ba­hasa Belanda tentang bangunan pe­ning­galan Hindia Belanda—kebetulan ka­mi sama-sama mempelajari budaya dan bahasa Belanda semasa kuliah dulu. Sa­yang, sang pemandu tur istana luput mengi­sahkan memoar heroik ketika Kera­jaan Belanda mengakui kedaulatan RI, empat tahun pasca Proklamasi Kemer­dekaan RI, pada 17 Agustus 1945. Padahal me­moar heroik itulah yang membawa per­ubahan besar pada penamaan istana yang melambangkan kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan RI.

Tepatnya, pada 27 Desember 1949, men­jelang Matahari tenggelam di ga­ris cakrawala. Seiring pengibaran ben­dera Merah-Putih ke puncak tiang, ter­­dengar kumandang lagu kebangsaan In­donesia Raya dan pekik, ”Merdeka! Mer­deka! Hidup Indonesia!” memenuhi ha­laman istana yang kala itu bernama Is­tana Gambir. Sementara ribuan mil da­ri Jakarta, tepatnya di Istana Dam, Ams­terdam, Belanda, lagu kebangsaan Wil­helmus berkumandang mengiringi ben­dera Merah-Putih-Biru yang me­ra­yap turun dari puncak tiang, seu­sai Ratu Juliana menandatangani nas­kah pengakuan kedaulatan dan menyerahkan­nya kepada Perdana Menteri RI Moham­mad Hatta, yang dalam perundingan tersebut bertindak sebagai pimpinan De­le­gasi RI. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun berkumandang untuk pertama kalinya di Istana Dam. Senja kemenangan yang menandai berakhirnya era kolonial­isme di Indonesia dan berawalnya peme­rintahan bangsa sendiri. Istana Gambir pun berganti nama menjadi Istana Mer­deka.

Sejak itu, Hari Kemerdekaan RI se­nan­tiasa diperingati setiap 17 Agustus, se­tiap tahun, dengan digelarnya Upacara Pe­ngibaran dan Penurunan Bendera Merah-Putih di halaman depan Istana Mer­deka yang berdiri gagah menghadap Monumen Nasional (Monas). Seremoni semegah dan seanggun istana yang melambangkan  memoar kemer­dekaan dan pengakuan kedaulatan RI yang tak lekang oleh waktu, tetapi tak sempat dikisahkan oleh sang pemandu tur istana.