Menyambangi Istana Pelarian di Ketinggian

By , Rabu, 17 Agustus 2016 | 11:00 WIB

Batavia,sekitar tiga abad silam, diliputi oleh hawa pa­nas dan hiruk pikuk khas perkotaan, mendesak warganya tak terkecuali Gubernur Jenderal Hindia Belanda Gustaaf Willem Baron van Imhoff, untuk sejenak menenangkan diri di kawasan pegunungan yang sejuk dan asri.

Bersama rombongannya,  Imhoff menunggang kereta kuda, menempuh perjalanan dari Batavia  menuju Buitenzorg sejauh sekitar 60 km atau 39 paal—1 paal sama dengan 1,5 km— selama kurang lebih 12 jam.

Namun agaknya kelelahan Imhoff setelah menempuh perjalanan sejauh dan selama itu, terbayar setibanya di Buitenzorg. Kota Hujan di kungkungan Gunung Pangrango, Gede dan Salak ini me­mang sa­ngat indah. Terlebih seusai hujan, terasa atmosfer khas yang melenakan. 

Sayang, pembangunan pu­ri tetirah bergaya Eropa sesuai sket­sa Imhoff, belum seutuhnya usai ketika ia tutup usia, pada 1750. Sejalan dengan waktu, puri di ketinggian 290 meter di atas permukaan laut ini mengalami perubahan fisik dan fungsi. Puri yang kemudian dikenal sebagai Ista­na Bogor ini pun menjadi saksi sejarah.

Seraya memperlihatkan ruang demi ruang, Jun, pemandu, menuturkan peris­tiwa heroik kala Barisan Keamanan Rakyat mere­but Istana Bogor dari Jepang yang dikalahkan Sekutu, pada akhir Pe­rang Du­nia II, 1945. Empat ta­hun ke­mu­dian, kedaulatan Republik Indo­nesia (RI) diakui Belanda, dan secara resmi Istana Bogor diserahkan Belanda kepada Pemerintah RI.

”Anda sekalian adalah tamu presiden ju­ga,” seru Jun sambil memukul gong–satu di antara ribuan koleksi ben­da seni yang mengisi istana–yang menjadi saksi bisu pe­nan­datanganan Surat Perintah Sebelas Ma­ret (Supersemar) oleh Presiden RI Soe­karno, 1966, yang melatarbe­lakangi berawalnya Or­de Baru.

Keanggunan eksterior Istana Cipanas menjalari bagian interiornya. (Ade Purnama/National Geographic Traveler)

Ri­nai gerimis mengiringi saat kami  melewati pekarangan istana yang dipi­jak ratusan rusa. Perjalanan kami lanjutkan menuju Istana Cipanas. Imhoff terpikat Cipanas saat melihat sumber air panas yang memancar di dekat pohon karet munding, dan segera menjadikan lahan di ketinggian 1.100 meter ini sebagai tempat tetirah, lengkap dengan kolam pemandian air panas, yang berasal dari Gunung Gede.

Imhoff jugalah yang membuat sketsa Istana Cipanas. Keanggunan eksteriornya merayap hingga bagian interiornya. Ornamen kayu­nya dikerjakan oleh tukang kayu dari Tegal dan Banyumas. Salah satu benda seni yang masyhur adalah lukisan Jalan Seribu Pan­dang karya S. Soedjojono, yang dari sisi ma­na­pun terlihat satu perspektif.

Tak jauh dari serambi belakang, terdapat Ru­mah Bentol. Disebut demikian, karena tonjolan batu kali memenuhi sekujur din­ding dan lantainya.

Di sinilah Presiden Soekarno melu­ang­kan waktu di akhir pekan, untuk ber­pikir dan beroleh gagasan kebangsaan di ruang kerjanya yang menghadap ke Gunung Gede, termasuk merumuskan pidato yang disampaikan pada Peringatan Kemerdekaan 17 Agustus.