Bengkulu, Kebanggaan Sejarah

By , Rabu, 17 Agustus 2016 | 13:00 WIB

Tidak sulit mencari rumah pengasingan Soekarno ini, ka­rena se­tiap warga yang kami temui begitu sigap me­mberikan petunjuk arah saat ditanya. Bisa jadi, ru­mah tua itu menjadi kebanggaan warga Beng­kulu, selain bunga Rafflesia arnoldii.

Hal itu setidaknya terpancar dari ja­wab­an pa­ra nelayan yang sedang bersantai di te­pi Pantai Malabro—bagian dari Pantai Pan­jang yang begitu terkenal—di Desa Pa­sar Pantai, Bengkulu. “Kalau sudah di si­ni, bolehlah mampir ke rumah Bung Kar­­no, Mas,” ujar Khairul, salah se­o­rang nelayan, yang diamini be­be­­­rapa rekan nelayan di se­belahnya. Ke­­­tika saya tanyakan ke­­na­pa saya mes­ti mengun­junginya, ja­wab­­an­­nya terdengar tegas, “Ka­re­na itu tem­­pat bersejarah yang sudah menjadi kebanggaan warga Beng­kulu.”

Rumah Soekarno: Bangunan bersejarah dengan sentuhan arsitektur Eropa-China. (Reynold Sumayku/National Geographic Traveler)

Hanya sekitar 15 menit dari Pan­tai Ma­la­­bro, kami tiba di lokasi di daerah Ang­­­gut Atas. Rumah tersebut berada te­­pat di pinggir Jalan Raya Soekarno-Hat­ta. Ketika mulai menaiki anak tangga me­­nuju pintu depan rumah, isi benak me­­layang, membayangkan sejarah dan pe­­ris­­tiwa yang telah dialami rumah ini di ma­sa ketika Soekarno diasingkan tahun 1938 hingga 1942. 

Bangunan fisik aslinya terlihat ma­sih terjaga, meski di sana-sini jejak pemu­gar­an dan penambahan elemen baru be­gi­tu kental terasa. Pintu depannya terdiri da­ri dua pintu besar dan kokoh, seakan-akan dipisahkan antara pintu untuk ma­suk dan pin­tu untuk keluar. Seluruh engsel pintu masih asli.

Rumah bergaya arsitektur campuran antara corak bangunan Eropa dengan pintu dan langit-langit yang tinggi, ventilasi (kricak) beralur persegi khas China, dan plafon bermotif garis yang merupakan ciri bangunan lokal menjadikan rumah ini unik. Dimasukkannya elemen Tionghoa pada rumah ini karena menurut sejarah, rumah ini merupakan milik saudagar China bernama Tjang Tjeng Kwat yang disewakan kepada pihak Belanda.

Seluruh perabot ditata dan disesuaikan de­ngan situasi aslinya. Kursi rotan dan me­­ja di ruang depan, yang menjadi tem­pat Soekarno menerima tamu dan ber­diskusi merupakan benda asli. Be­berapa almari lama sudah diganti dengan yang baru karena dimangsa lapuk. Semen­tara tempat tidur dan meja rias bergaya Ero­pa di ba­gian belakang rumah adalah benda asli peninggalan Belanda.

Di salah satu sudut terdapat almari kaca berisi koleksi bacaan Soekarno selama pengasingan. (Reynold Sumayku/National Geographic Traveler)

Buku-buku Soekarno, seluruhnya ber­jum­lah 303 judul tersimpan rapi dalam almari kayu. “Buku-buku itu tidak boleh disentuh karena kha­watir rusak,” kata Surgrahanudin, pe­gawai honorer Balai Pelestarian Pening­galan Purbakala Jambi, yang juga penjaga rumah ini. Sebagian besar buku ter­sebut adalah pemberian Abdul Manaf, sa­habat dekat Soekarno da­lam pengasingan di Bengkulu.

Saat menyimak dan menelusuri ruang de­mi ruang, terlihat satu sudut yang me­narik perhatian saya: sebuah lemari be­sar berisi pakaian dan perlengkapan untuk pertunjukan to­nil (sandiwara).

Soekarno memang pe­­cinta seni. Seba­gai­mana dilaku­kan­nya saat diasing-kan di Ende, Flores, di Bengkulu pun dia men­di­rikan per­kum­pulan sandiwara yang ke­mudian dina­makannya Toneel Kalimutu. Semua pema­innya adalah laki-laki. Ru­mah ini men­­jadi pusat latihannya. Se­mua la­kon yang dipentaskan, seperti Ki­sah Cin­ta Put­ri Seorang Komandan Portugis di En­deh, Rainbow, dan DR. Peng­iblis Syaitan di­ciptakan oleh Soekarno. Soe­karno pula yang melatih para pemain.  

Namun, Soekarno tetaplah sang pa­tri­ot. Latihan dan pementasan di­­ja­di­kan­­nya jembatan komunikasi de­ngan ka­wan-kawannya, dan menjadikannya sen­­jata am­­­puh da­lam menjalankan mi­si­nya ber­juang me­nentang kolonial Be­landa. Ba­nyak tokoh Muhammadiyah di Bengkulu yang dilibatkan dalam sandi­wara dengan misi perjuangan.