Tidak sulit mencari rumah pengasingan Soekarno ini, karena setiap warga yang kami temui begitu sigap memberikan petunjuk arah saat ditanya. Bisa jadi, rumah tua itu menjadi kebanggaan warga Bengkulu, selain bunga Rafflesia arnoldii.
Hal itu setidaknya terpancar dari jawaban para nelayan yang sedang bersantai di tepi Pantai Malabro—bagian dari Pantai Panjang yang begitu terkenal—di Desa Pasar Pantai, Bengkulu. “Kalau sudah di sini, bolehlah mampir ke rumah Bung Karno, Mas,” ujar Khairul, salah seorang nelayan, yang diamini beberapa rekan nelayan di sebelahnya. Ketika saya tanyakan kenapa saya mesti mengunjunginya, jawabannya terdengar tegas, “Karena itu tempat bersejarah yang sudah menjadi kebanggaan warga Bengkulu.”
Hanya sekitar 15 menit dari Pantai Malabro, kami tiba di lokasi di daerah Anggut Atas. Rumah tersebut berada tepat di pinggir Jalan Raya Soekarno-Hatta. Ketika mulai menaiki anak tangga menuju pintu depan rumah, isi benak melayang, membayangkan sejarah dan peristiwa yang telah dialami rumah ini di masa ketika Soekarno diasingkan tahun 1938 hingga 1942.
Bangunan fisik aslinya terlihat masih terjaga, meski di sana-sini jejak pemugaran dan penambahan elemen baru begitu kental terasa. Pintu depannya terdiri dari dua pintu besar dan kokoh, seakan-akan dipisahkan antara pintu untuk masuk dan pintu untuk keluar. Seluruh engsel pintu masih asli.
Rumah bergaya arsitektur campuran antara corak bangunan Eropa dengan pintu dan langit-langit yang tinggi, ventilasi (kricak) beralur persegi khas China, dan plafon bermotif garis yang merupakan ciri bangunan lokal menjadikan rumah ini unik. Dimasukkannya elemen Tionghoa pada rumah ini karena menurut sejarah, rumah ini merupakan milik saudagar China bernama Tjang Tjeng Kwat yang disewakan kepada pihak Belanda.
Seluruh perabot ditata dan disesuaikan dengan situasi aslinya. Kursi rotan dan meja di ruang depan, yang menjadi tempat Soekarno menerima tamu dan berdiskusi merupakan benda asli. Beberapa almari lama sudah diganti dengan yang baru karena dimangsa lapuk. Sementara tempat tidur dan meja rias bergaya Eropa di bagian belakang rumah adalah benda asli peninggalan Belanda.
Buku-buku Soekarno, seluruhnya berjumlah 303 judul tersimpan rapi dalam almari kayu. “Buku-buku itu tidak boleh disentuh karena khawatir rusak,” kata Surgrahanudin, pegawai honorer Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, yang juga penjaga rumah ini. Sebagian besar buku tersebut adalah pemberian Abdul Manaf, sahabat dekat Soekarno dalam pengasingan di Bengkulu.
Saat menyimak dan menelusuri ruang demi ruang, terlihat satu sudut yang menarik perhatian saya: sebuah lemari besar berisi pakaian dan perlengkapan untuk pertunjukan tonil (sandiwara).
Soekarno memang pecinta seni. Sebagaimana dilakukannya saat diasing-kan di Ende, Flores, di Bengkulu pun dia mendirikan perkumpulan sandiwara yang kemudian dinamakannya Toneel Kalimutu. Semua pemainnya adalah laki-laki. Rumah ini menjadi pusat latihannya. Semua lakon yang dipentaskan, seperti Kisah Cinta Putri Seorang Komandan Portugis di Endeh, Rainbow, dan DR. Pengiblis Syaitan diciptakan oleh Soekarno. Soekarno pula yang melatih para pemain.
Namun, Soekarno tetaplah sang patriot. Latihan dan pementasan dijadikannya jembatan komunikasi dengan kawan-kawannya, dan menjadikannya senjata ampuh dalam menjalankan misinya berjuang menentang kolonial Belanda. Banyak tokoh Muhammadiyah di Bengkulu yang dilibatkan dalam sandiwara dengan misi perjuangan.