Bangka, Sejarah yang Dihidupkan dan Mengilhami

By , Rabu, 17 Agustus 2016 | 14:00 WIB

Inilah catatan tentang Bangka dari sudut pandang dua orang: sang penulis Seno Gumira Ajidarma dan arsitek Yuke Ardhiati.

SENO: Tahun lalu, saya datang ke Bangka dari Palembang. Na­ik kapal, berangkat pukul 16:00 dan tiba pukul 06.00 esoknya. Saya ingat, pagi itu, sopir mobil yang saya sewa mengajak sarapan di ru­mah­nya. Saya ingat cuma bilang, “Tempat Bung Karno ditahan,” dan sopir itu ter­nyata ke sana pun belum pernah! “Wah, saya untung ketemu Bapak,” ka­tanya, “mobil disewa dan bisa melihat tempat bersejarah itu.”Mobil merayap naik gunung yang sebe­narnya bukit saja, Menumbing, melalui hutan sejuk. Tempat berse­jarah macam apa? Tak hanya Presiden RI Soekarno yang ditahan di sini sebagai “pemimpin pemberontak” di ibukota RI saat itu, Yogyakarta, yang diserbu 19 Desember 1948.

Awalnya Soekarno, Sjahrir, Agus Salim di­ba­wa ke Prapat, tepi Danau Toba, 22 De­sember. Tapi pada 5 Februari diangkut Catalina tanpa Sjahrir ke puncak Menumbing, 150 km dari kota tambang timah Muntok, tempat Hatta sudah dita­han bersama Assaat, A G Pringgodigdo, Surjadarma dan Ali Sastroamidjojo. Natsir me­nyusul diasingkan di sana. 

Menurut Bung Karno, mereka dipindah karena hampir tiap ma­lam ada usaha pembebasan oleh pe­muda. Penggabungan di Bangka agar pemimpin RI bisa lebih efektif berunding.

Dalam kenangan Hatta, tempat mereka ditahan mirip kerangkeng. Setelah Komisi Tiga Negara (KTN) berkunjung, 2 Januari 1949, dan protes, kawat berduri dibuka. Pemimpin RI bisa jalan-jalan ke seputar Bangka. Meski diduduki Belanda, rak­yat Bangka, “Sudah jadi rakyat RI.”

Ke mana pun pergi, mereka disam­but hormat. Peda­gang di pasar tak bersedia diba­yar­. Ber­diri di ba­ngunan gaya vila, ki­ni jadi ho­tel (Jati Menumbing) yang ku­rang la­ku itu, saya bayangkan bukan ha­nya datang dan perginya berbagai de-legasi, beradu diplo­­masi berebut negeri ini.

Namun juga bagai­mana Hatta marah besar kepada Soekarno, karena pada 29 April mengirim telegram ucapan selamat ulangtahun kepada Ratu Juliana. 

Setidaknya lima bulan pemimpin RI di­batasi geraknya karena pe­merintah res­mi RI baru kembali ke Yog­yakarta pada 6 Juli. Memasuki kamar tidur Soekarno, tempat tidur dan bantal gu­ling terpajang, menghirup udara yang sama seperti dihirup Soekarno, memberi suatu kesan luar biasa, bagai seruangan bersamanya.  

Dengan bangunan dan suasana yang diandaikan sama seperti dulu, lengkap dengan mobil yang digunakan saat itu, siapapun akan merasa berada di dalam sejarah, hanya dipisahkan wak­tu. Para pe­mim­pin berjalan-jalan di sekitar vila, menghayati, menikmati kese­juk­an, ssembari berdiskusi memper­tahan­kan kemerdekaan RI. Tentu ironis ba­gi Belanda berhadapan dengan para intelektual yang berpendidikan, berbahasa Belanda, menggunakan wacana pembe­basan dan kesetaraan Eropa juga untuk menghadapi kolonialisme Belanda itu.

(Nuri Hadjid/National Geographic Traveler Indonesia)
YUKE: Sebagai arsitek, saya menjelajahi alam pikiran Bung Karno terkait karya tugu pasca Pem­bu­angan di Bangka, yang secara bermakna menanam tugu per-ingatan di kota besar di Indonesia dalam gubahan obelisk – piramid jang­kung yang lazim ditempatkan di tengah kota berbentuk lingkaran sempurna.  

Menyerupai seseorang sangat char­ming yang menuju tempat rekreasi, bu­­­kan ke pengasingan. Bung Karno de­ngan hangat bermental untuk sebuah ke­me­nangan menjalani lakonnya dengan anggun. Film dokumenter perang fisik Clash II 1948 di Yogya berlatar Istana Yog­yakarta menunjukkan hiruk pikuk. Soekarno berwajah kemudaan di usia 47 berbalutan pantalon biru donker perlente, berkemas menuju ke pembuangan Bangka. Tak terpancar kegundahan ketika harus melakoni pembuangan lagi. Bahkan ketika telah menjadi presiden bagi sebuah negeri muda yang ia proklamasikan tiga tahun sebelumnya.

Sekembali dari Bangka, Bung Karno mendarat di Maguwo, Yogya, 1949 de­ngan setelan pantalon berkantong lebar putih-putih berbendera merah putih di dada. Cahaya kemenangan inilah yang terpancar. Kembali ke Yogyakarta!