Ende yang Melahirkan Pancasila

By , Rabu, 17 Agustus 2016 | 15:00 WIB

Saya tiba di depan rumah itu pada suatu pa­­­­­gi dengan menumpang ojek. Pin­­tu masih tertutup. Jadi saya sa­ra­pan nasi kuning dahulu dari warung di depan rumah tersebut. A­gak naik tempatnya. Barangkali dulu dari sini orang mengawasi Soekarno, pikir saya, teringat ce­rita seseorang yang terus mene­rus mengikutinya dari jauh, apa­­lagi jika bukan untuk memata-matainya.

Seperti bisa dibaca dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966) oleh Cindy Adams, ada kejadian menggelikan. Hanya ada 8 polisi di Ende, yang waktu itu tentu jauh lebih su­nyi. Meskipun menyamar, Soekarno se­lalu tahu. Hanya polisi yang bersepeda hi­tam merk Hima. Orang Belanda pula.

Sebetulnya polisi mendapat perintah mengawasi dari jarak 60 m. Namun pada suatu sore, seseorang “… membuntutiku di jalan raya yang dijalani angsa, kambing, ker­bau dan sapi. Aku bersepeda melalui rumah panggung menuju sungai. Jalan sempit, jadi dia mengayuh mengembus-embus hampir bahu-membahu de­nganku. Waktu dia berhenti untuk memata-matai, dua anjing melompat sambil me­nyalak menggeram. Pemaksa hukum yang tinggi kejam ini, kaget memanjat ke atas sepeda, berdiri di sadel dengan kedua tangan berpegang erat ke pohon.”

Itulah salah satu hiburan segar di antara hari-hari berat selama 1934 -1938. Dia­singkan ke tempat tak seorang pun me­nge­nalnya, sungguh mematikan jiwa ak­tivis populer seperti Soekarno.

Ketika penjaga tiba dan membuka pin­tu, saya bebas keluar masuk. Saya coba meng­­ambil sudut pandang Soekarno ke­ti­ka memotret, dari duduk di kursinya sam­­pai menengok ke dalam sumur sea­kan mengambil air. Meskipun tiba dengan keluarga, Inggit dan anak angkat, Ratna Jua­mi, terbayang keterasingan intelektualnya. Hanya dengan menerus­kan segala cara perjuangan, ia temukan pem­bebasan jiwa. Sembunyi-sembunyi ajarkan Indonesia Raya.

Naskah-naskah sandiwara tersimpan tak  terawat di balik kaca lemari. Naskah yang ia gunakan menularkan gagasan mer­deka, apakah tak takut rusak atau di­curi? Lebih baik dibukukan, aslinya di­simpan di tempat lebih aman bersuhu sesuai bagi dokumen tua. Lukisan, tempat ti­dur dan perabotan otentik butuh lebih dari sekadar bulu ayam pemelihara.Pernah ada polemik, benarkah ia per­nah bersurat mohon ampun dan dibe­bas­­kan, berdasarkan arsip Belanda yang di­kutip John Ingleson. Ada pernyataan, su­rat-surat itu ditanam intelijen kolonial un­tuk meruntuhkan karisma Soekarno.