Banda Naira Pengukuhan dari Lapangan

By , Rabu, 17 Agustus 2016 | 16:00 WIB

Waktu seolah berhenti di Banda Naira. Menjelajah gugus 13 pulau di teng­gara Ambon ini, April 2006 & Mei 2009, saya dan rekan Eddy Purnomo mengenali tiap sudutnya masih seperti gambaran dalam buku-buku sejarah. Dari dermaga memandang Teluk Naira membiru te­nang, didesir angin laut, dan hanya dipu­kul ombak ketika musim angin barat pa­da Februari, saya merasa Bung Hata dan Sjahrir justru menganggap “di­bu­ang” di sini, 1936 – 1942, sebagai rahmat ter­sem­bunyi. Di­pindahkan setelah seta­hun di Boven Digoel (Tanah Merah), Papua, yang membuat raut pucat. Untunglah mereka tak terjangkit ma­laria “kencing hitam.” Saat ke kebun pala, saya sadar, Hatta, Sjahrir, dr Tjipto Mangunkusumo dan Mr Iwa Kusuma Soemantri yang “dibuang” pada 1928 dan 1930, bak dapat beasiswa studi lapangan. Mengenal langsung tanah tum­buh pala, “harta pendatang bencana” yang memelekkan Eropa menguasai Nu­san­­tara, yang kemerdekaannya sedang me­reka perjuangkan.

Rumah pengasingan Hatta dan Sjahrir, dipugar pada 1981-1983, terawat baik. Jendela besar, langit-langit tinggi kokoh, megah dan nyaman sesuai alam tropis. Pakaian, kopiah, kacamata, kursi tamu, lemari makan, tempat tidur tertata rapi. Juga mesin ketik dan “ruang” kelas di teras belakang untuk mengajar anak-anak Banda.

Dalam beberapa jam, seluruh ko­ta Ban­da Naira, laboratorium alam arsi­tek­tur, cetak biru Batavia, terjelajahi ­ jalan san­tai. Di sumur maut 44 orang kaya Ban­da, 1621, awal kekuasaan penuh VOC, ka­mi terdiam. Meyakini diri, kini mereka ter­senyum  menyaksikan keturunannya ja­di tuan rumah kembali di Banda Naira.