Kini, Penghancuran Peninggalan Sejarah termasuk Kejahatan Perang

By , Selasa, 30 Agustus 2016 | 12:00 WIB

Seorang pejuang Islam mengakui penyesalannya di Den Haag atas perbuatannya menghancurkan bagian dari kota perdagangan Timbuktu. Kasus penghancuran tersebut adalah kasus pertama yang mesti dihadapi Pengadilan Kriminal Internasional terkait pengerusakan terhadap artefak kebudayaan.

Ahmad al-Faqi al-Mahdi mengakui pada 22 Agustus 2016, bahwa dirinya lah yang meratakan 14 makam kota serta masjid selama pergerakan Islam radikal tahun 2012 silam. Ahmad mengatakan kepada pengadilan rakyat di Belanda bahwa ia menyesali aksi pengerusakan yang ia lakukan.

Maret lalu, Ahmad berperan dalam kejahatan perang yang secara langsung ditunjuk untuk melakukan penghancuran atas monumen bersejarah dan bangunan yang didedikasikan untuk keagamaan. “Melakukan penghancuran pada benda-benda kebudayaan menjadi senjata terkini yang digunakan dalam perang,” ujar jaksa ICC Fatou Bensouda.

Timbuktu, selama 1000 tahun, merupakan kawasan perdagangan dan pusat pendidikan Islam pada abad ke-15 dan ke-16. Pada 1980-an, kawasan itu dideklarasikan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO.

Penghancuran warisan budaya dapat menjadi sebuah kejahatan perang, dan tertulis sesuai Rome Statue tahun 1998 yang telah diresmikan oleh ICC. Kasus ini juga ditandai sebagai kasus yang pertama kalinya terjadi, dan beruntung pelakunya mengakui penyesalannya.

Ada lebih dari 30 dakwaan di ICC, dan hanya tiga terdakwa yang divonis bersalah. Mereka adalah Thomas Lubanga, Germain Katanga, dan yang terbaru adalah Jean-Pierre Bemba, seorang mantan politisi dan pemimpin pemberontakan di Republik Demokratik Kongo.

Kewenangan ICC yang terbatas dianggap menjadikan lembaga hukum tersebut memiliki catatan ketidakonsistenan dalam menindak kejahatan para pelaku.