Sinergi Kerja Antara Erupsi Gunung Api dan Catatan Arkeologi

By , Minggu, 28 Agustus 2016 | 19:00 WIB

Erupsi yang terjadi pada gunung api tak selalu membawa kehancuran dan dampak buruk bagi kehidupan. Menurut Indyo Pratomo dari Museum Geologi Indonesia, erupsi gunung api menyimpan catatan penelitian arkeologi yang berkaitan dengan jejak-jejak kehidupan purba di dunia.

Salah satu yang dihasilkan dari adanya erupsi gunung api adalah produk kegiatan vulkanik, seperti endapan aliran piroklastik, tephra (fragmen batuan vulkanik yang dilontarkan ke udara akibat letusan), dan abu vulkanik. Produk tersebut yang kemudia mampu menjadi penanda waktu yang efektif bagi penelitian arkeologi.

Sebaliknya, diketahuinya situs arkeologi di sekitar area gunung api memberikan informasi tersendiri mengenai sejarah aktivitas vulkanik di sana. Hal ini dapat dijadikan sebagai referensi rekonstruksi bagi jejak letusan gunung api.

Keterkaitan temuan arkeologi dengan aktivitas erupsi gunung api juga dapat kita lihat bagaimana temuan-temuan tersebut menyimpan informasi tersendiri. Seperti relief candi, prasasti, tulisan pada daun lontar, hingga catatan sejarah lainnya mengabadikan rekaman kejadian erupsi di lokasi tersebut.

Informasi yang di dapatkan dari rekaman-rekaman tersebut ternyata dapat dijadikan acuan bagi mitigasi bencana gunung api maupun bencana geologi lainnya.

Paradoks bahwa gunung api bersifat merusak dan membawa dampak buruk berjangka panjang, nyatanya aktivitas erupsi gunung api merupakan pengawet paling efektif. Akibat dari erupsi tersebut mampu mengawetkan struktur dan budaya manusia dan pemukimannya. Hingga peneliti akan mampu mengetahui banyak aspek kehidupan manusia purba yang berada di area tersebut.

Salah satu bukti keterkaitan aktivitas erupsi gunung api dengan catatan arkeologi yang ada adalah letusan besar Gunung Vesuvius. Letusan gunung tersebut menghasilkan abu yang akhirnya menewaskan seluruh mahluk dan menyelimut kawasan Pompeii dan Herculanum di Teluk Napoli, Italia, pada zaman Romawi dengan abu vulkanik yang tebal.

Plinius, seorang bangsawan Romawi, menjelaskan pengamatannya mengenai erupsi Gunung Vesuvius pada sejarawan Tacitus. Hingga pada akhirnya, erupsi gunung tersebut dinamai sebagai tipe Plini.

Haraldur Sigurdsson, ahli vulkanologi modern menghubungkan situs pliny dengan strata tertentu yang terawetkan oleh endapatan dari produk erupsi Gunung Vesuvius. Sejumlah hasil penelitian pun menunjukkan bagaimana letusan gunung tersebut terjadi.

Penelitian tersebut menemukan rekonstruksi letusan utama Gunung Vesuvius, dimana erupsi terjadi pada tanggal 24 Agustus abad 79 Masehi pukul 01.00. Aktivitas vulkanik gunung tersebut diawali dengan erupsi abu dan batu apung.

Dari erupsi tersebut menghasilkan adanya kolom abu. Dalam waktu 11 jam berikutnya, Gunung Vesuvius menyemburkan kolom awan letusan vertical yang mencapai pada ketinggian 12 mil ke stratosfer, yang disebutkan sebelumnya masuk dalam tipe Pliny.