Petang belum menjelang ketika kami tiba di Saung Angklung Mang Udjo di Jalan Padasuka, Bandung, Jawa Barat. Masih ada waktu untuk berkeliling saung dan berburu cenderamata sebelum menyaksikan Pertunjukan Bambu Petang di Bale Karesmen, pada pukul 15.30 WIB. Pilihan cenderamata yang ditawarkan disini sangat bergam-dari instrumen angklung berukuran orisinal hingga miniaturnya, juga kaus bergrafis angklung.
Keasyikan lain mengunjungi saung yang digagas Udjo Ngalagena sejak tahun 1966 ini, kita bisa sambil melihat tangan-tangan cekatan perajin angklung tengah menyerut batang bambu dengan pisau tajam di studio di sisi bale. Seni dan estetika yang dimiliki perajin mampu menjadikan rakitan potongan batang bambu–hitam, temen, tali dan belang–memiliki nada-nada indah saat dimainkan.
“Musik datangnya dari hati,“ jelas Rahmat, yang berkiprah sebagai perajin angklung selama 34 tahun.
“Harus ada harmoni anatara pisau dan indra dengar supaya bisa menemukan nada yang pas,“ lanjutnya sambil mengetuk batang bambu dengan pangkal pisau dan menyamakan nada dengan xylophoe atau garpu tala kromatik. Lalu tiba waktunya bagi kami menuju Bale Karesmen, menyaksikan Pertunjukan Bambu Petang.
Serangkaian ritual atraktif—dari wayang golek, tari tradisional topeng dan merak, calung, arumba, angklung, dan menari bersama—kami menikmati selama dua jam penuh. Sebentuk cenderamata berornamen angklung yang kami beli akan selalu mengingatkan kami pada etalase budaya Sunda ini.