Perubahan Iklim Picu Perang dan Peningkatan Konflik?

By , Minggu, 11 September 2016 | 10:00 WIB

Kebanyakan orang mengetahui bahwa perubahan iklim hanya akan membawa kehancuran pada lingkungan, seperti kenaikan level air laut dan badai yang lebih kuat. Ternyata perubahan iklim juga membawa dampak pada ekonomi dan kehidupan sosial.

Penelitian atas dampak perubahan iklim pada aspek ekonomi dan sosial pernah dilakukan sebelumnya, namun dalam review terbaru yang dipublikasikan lebih berharap untuk menggarisbawahi kerusakan yang manusia lakukan pada spesies mereka sendiri.

Analisis yang dilakukan oleh tim dari University of California, Berkeley mengungkapkan bahwa meskipun kita memiliki teknologi yang canggih serta kecerdasan, runtuhnya perekonomian dan peperangan akan selalu menghantui kepala kita.

“Dalam periode yang modern ini, kondisi yang panas meningkatkan kekerasan kolektif yang beragam seperti pemberontakan di India, invasi tanah di Brazil, dan peningkatan intensitas perang saudara di Somalia,” ujar sang penulis review. “Hubungan ini (antara suhu dan insiden konflik) bergerak linear.”

Pertanian menjadi salah satu hal yang paling mengerikan. Meskipun terus tumbuh tanaman-tanaman baru, tanaman itu tidak cukup mampu untuk bersaing dengan lajur perubahan suhu yang terjadi.

Hasilnya, tahun 2100, hasil panen jagung di Amerika akan jatuh hingga 82 persen. Secara global, antara tahun 1981 dan 2002, perubahan suhu telah menyebabkan dunia kehingan lima miliyar dollar per tahun atas panen jagung.

Hal yang paling mengejutkan adalah bagaimana perubahan iklim mempengaruhi terjadinya perang. Area yang kekurangan bahan pangan dasar dan sumber air diperkirakan akan memiliki tingkat konflik yang lebih tinggi.

Berbicara mengenai ekonomi juga tampak tidak begitu bagus. Suhu yang tinggi menurunkan kemampuan kerja pabrik dan pertanian. Kerugian yang dihadapi oleh industri yang seharusnya mampu meningkatkan perekonomian akan turut membawa kerugian pula bagi kita.

Saat ini, kerugian tersebut menyebabkan ekonomi global mengalami penyusutan mendekati 23 persen setiap tahunnya. Tahun 2100, GDP global akan menyusut hingga 23 persen. Satu penelitian memperkirakan bahwa tahun 2030, Amerika Serikat sendiri akan kehilangan dua triliun dollar.

Hal yang paling mengejutkan adalah bagaimana perubahan iklim mempengaruhi terjadinya perang. Area yang kekurangan bahan pangan dasar dan sumber air diperkirakan akan memiliki tingkat konflik yang lebih tinggi.  Tercatat antara tahun 1981 dan 2006, perang di Sub-Sahara Afrika telah meningkat hingga 11 persen, dan tahun 2030, kemungkinan akan melonjak hingga 54 persen.

Aksi kekerasan juga berhubungan dengan peningkatan suhu. Meskipun penyebabnya sendiri memiliki kerumitan yang tinggi, suhu meningkatkan tekanan. Hal itu berkontribusi pada lebih dari 180.000 kasus pemerkosaan, 22.000 pembunuhan, dan 1.2 juta kasus penyerangan di Amerika di akhir abad.

“Dari penelitian ini menunjukkan bahwa area yang lebih panas dengan pola hujan yang lebih ekstrim dan gangguan yang lebih besar, seperti siklon tropis, akan lebih banyak menghadapi peningkatan biaya kesehatan, produktivitas rendah, kebutuhan ekonomi yang meningkat, pergerakan populasi yang lebih besar, dan tingkat kekerasan yang lebih tinggi,” ujar peneliti.

Namun tentunya pasti ada harapan. Perjanjian Paris yang telah diratifikasi oleh negara-negara dengan penghasil gas efek rumah kaca terbesar, seperti Amerika dan Cina, membawa negara-negara lain juga untuk bergabung dalam melakukan aksi tersebut.

Dalam peneltian yang dilakukan oleh Union for Conservationa of Nature (IUCN) mengungkapkan bahwa laut menyerap hingga 90 persen dari emisi karbon kita. Tanpa mereka, tingkat suhu tidak hannya akan berubah dalam seabad terakhir hingga 10 kali di atas rata-rata, namun mampu mencapai 360 kali.

Kandungan karbon di Bumi akan terus meningkat, dan kita menghadapi pilihan. Memotong emisi dan mengubah masa depan, atau membiarkan panas meningkat dan melihat dunia terus terbakar.