Gua Batu Cermin, Jejak Kehidupan Bawah Laut nan Abadi

By , Selasa, 1 November 2016 | 12:00 WIB

"Awas, hati-hati kena bambu berduri!" kata Idham, pemandu lokal yang membawa kami menapaki jalan selebar satu meter. Di kiri-kanan jalan sempit itu, pohon-pohon bambu tumbuh berderet dan menggerombol. Tak sedikit pokok-pokok bambu yang mencuat ke arah jalan, membentuk kanopi melengkung nan meneduhkan. Sinar Matahari sore berwarna keemasan menyusup melalui celah-celah daun bambu nan malang melintang.

"Orang lokal menyebut bambu berduri ini 'Toe', dengan penekanan di huruf 'E' (Dibaca To'e). Kalau 'toe' biasa, artinya 'tidak', jelas Idham.

Tak sampai sepuluh menit kemudian, kami sampai di kawasan yang agak terbuka. Kami mengekor Idham yang berjalan menuju sebuah gazebo untuk berteduh dan mengatur napas sejenak.

"Itu Gua Batu Cermin," katanya seraya menunjuk pucuk gundukan bebatuan tinggi berwarna kehitaman yang bagian bawahnya tertutup rerimbun pohon. Di bagian atas gundukan itu, tanaman pandan laut tumbuh dengan suburnya.

Gua Batu Cermin tersusun atas batuan kapur yang menjulang hingga 75 meter. Gua yang terletak di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur ini pertama kali ditemukan tahun 1951 oleh Theodore Verhoven, seorang arkeolog dan juga misionaris dari negeri kincir angin.

Pemerintah lokal telah membangun tangga semen di mulut Gua Batu Cermin. Tangga ini memang memudahkan wisatawan, namun di sisi lain, keberadaannya membuat gua ini sedikit kehilangan sentuhan alaminya. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Dalam penelitiannya, Verhoven menyimpulkan bahwa pada masa lampau, kawasan gua tersebut merupakan lautan, terbukti dengan adanya sisa-sisa hewan laut dan beragam terumbu karang yang menjadi fosil di dinding dan langit-langit gua.

Di depan mulut gua, kami disambut stalaktit dan stalakmit yang saling menyatu dan membentuk pilar-pilar alami. Di situ juga terdapat tangga buatan dari semen. Tangga tersebut memang memudahkan para pengunjung, namun di sisi lain, keberadaannya membuat gua ini sedikit kehilangan sentuhan alaminya.

Idham mengajak kami masuk ke dalam gua lebih jauh. Kini, tak ada lagi tangga yang nyaman. Liang semakin sempit dengan stalaktit-stalaktit yang menghujam dari langit-langit. Terkadang kami harus berjalan merunduk atau berjongkok untuk bisa melewatinya.

Semakin dalam, kegelapan kian menyergap. Tak lama setelah melewati lekuk-lekuk liang, kami tiba di bagian gua yang agak lapang. Ruang dalam gua itu tak seberapa tinggi, tetap cukup bagi orang dewasa untuk berdiri tegak.

"Lihat, ini fosil kura-kuranya," ujar Idham sambil menunjuk pada struktur yang menonjol di langit-langit gua. Struktur tersebut memang menyerupai penyu beserta karapasnya. Tak jauh dari fosil penyu, terdapat segerombolan terumbu karang beragam bentuk yang telah memfosil.

Kami meninggalkan ruang tersebut dan kembali menelusuri celah yang lumayan sempit. Bedanya, kali ini kami tak perlu merunduk. Kondisi di celah ini juga lebih terang dibanding ruangan tadi berkat adanya sebuah lubang di langit-langit gua.

Untuk mencapai Gua Batu Cermin, pengunjung harus melalui jalan setapak dengan bambu berduri di kanan-kirinya. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Ketika Matahari sejajar dengan lubang, cahayanya akan menerobos masuk ke dalam gua bak lampu sorot. Cahaya tersebut kemudian memantul dari dinding batu dan merefleksikan cahaya kecil ke areal lain dalam gua sehingga terlihat seperti cermin. Itulah sebabnya mengapa gua ini bernama Batu Cermin. "Prosesnya terjadi cuma dalam beberapa belas menit," kata Idham.

Ketika sang rawi kian condong ke Barat, Idham mengajak kami meninggalkan tempat itu. Sekali lagi, kami harus berjibaku melewati lorong-lorong sempit gua, meninggalkan jejak-jejak kehidupan dasar laut Flores masa lampau yang abadi dalam perut bumi di belakang kami.

Penugasan bertajuk Inspirasi Pendidikan Negeri ini merupakan kerjasama National Geographic Indonesia dan Samsung Indonesia, guna menyebarluaskan dan melestarikan wawasan kekayaan alam dan budaya Nusantara .