Menyibak Kisah dan Filosofi di Balik Motif Batik Lasem

By , Kamis, 8 Desember 2016 | 12:00 WIB

Kota Lasem orang poen sering seboet Kota Batik,kerna Batikindustrie di sana ada besar sekali dan penting. Bagimana besar dan pentingnja itoe batikindustrie jang berada seanteronja dalem tangannja fihak Tionghoa di Lasem, itoelah orang bisa bajangken sendiri. Ampir sasoeatoe anak Tionghoa dari Lasem kaloe di tanja oleh orang tentang pakerdjahan apa jang orang toeanja diroemah ada lakoeken, selaloe kasi penjaoetan: “Peroesahan batik!”  Kengpo, 25 November 1934

Nama Lasem yang tercatat dalam kronik Nusantara dan Tionghoa selama beberapa abad, membuktikan bahwa Lasem menjadi tujuan dan tempat favorit para perantau asal Tionghoa. Sejak abad ke 14, orang-orang Tionghoa berlayar dengan jung-jung menuju Nusantara dengan aneka misi—ekspedisi, mencari penghidupan yang lebih baik, melarikan diri dari bencana alam dan kisruh politik, berdagang dan lainnya.

Secara umum para peneliti seperti Borel, Ong Eng Die, Reid, Salmon, Wang Gong Wu, dan lainnya menyebutkan bahwa orang Tionghoa di Nusantara berasal dari pesisir pantai selatan Tionghoa, Fujian dan Guangdong. Jumlah etnis Tionghoa pada abad 19 sampai awal abad 20 di Rembang – Lasem menempati urutan ke 3 setelah Batavia dan Semarang. Hal ini menunjukan bahwa Rembang Lasem merupakan salah satu tujuan utama imigran Tionghoa di Hindia Belanda.

Kontak budaya Tionghoa Jawa meninggalkan hasil karya berupa batik pesisir utara yang terkenal dengan sebutan Batik Lasem. Perkembangan batik di Lasem, konon dimulai sejak masa Na Li Ni atau Si Putri Campa istri Bi Nang Un, seorang anggota ekspedisi Cheng He (1405-1433) yang memperkenalkan teknik membatik pada abad ke-15. Masa keemasan perusahaan batik yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Lasem dimulai sekitar 1860-an. Perusahaan batik saat itu merupakan usaha yang paling menguntungkan setelah perdagangan candu. Pengusaha batik Lasem mengandalkan 2.000-an pekerja untuk proses artistik dan 4.000-an pekerja untuk proses lainnya.

Tak heran motif batik Lasem mendapat pengaruh corak simbolik tradisi Tionghoa yang bersanding dengan motif lokal. Mereka pun membuat kain batik panjang dan kain tokwi sebagai penutup meja altar persembahan. Batik Lasem masa itu diekspor secara besar-besaran ke Singapura dan Sri Lanka. Jelang 1970-an batik Lasem mulai mengalami kemunduran. Fakta menarik bahwa industri batik pada tahun 1970an mencapai titik tertinggi hingga mencapai 144 perusahaan batik dan pada tahun 2015 hanya terdapat 30 perusahaan batik tulis Lasem di seluruh Kabupaten Rembang.

Setelah batik diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 2009, batik Lasem yang sempat mengalami penurunan kini mulai bergairah kembali. Tahun ini, hanya beberapa keluarga di kota tua (pecinan) Lasem yang masih berjuang melanjutkan usaha batik warisan keluarganya. Kini terdapat setidaknya enam rumah batik di kota tua Lasem yang masih bercirikan batik peTionghoan dan 120 rumah batik di seluruh Kabupaten Rembang. Begitu banyak motif khas batik kota tua Lasem yang memiliki aneka jenis penamaan dan kisah dalam selembar kain belum tercatat dan hanya menjadi pola turun temurun.

“Pola itu diturunkan dari generasi sebelumnya lewat pembatik-pembatik yang sepuh-sepuh,” ujar Reny pewaris Batik Ong’s Art Maranatha.

Jelang sore, para pembatik pulang dari sanggar kerja setelah seharian bekerja. rata-rata mereka membatik sepanjang minggu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. (Feri Latief)

Lebih lanjut ia menyatakan,"Batik Lasem juga khas karena warna merahnya. Disebut getih pitik ‘darah ayam’. Bukan dari darah ayam, tapi jaman dulunya bubuk pewarna yang rata-rata dari Jerman atau Eropa itu dicampur dengan air Lasem warnanya jadi demikian. Kalau sekarang warna merahnya agak beragam walaupun dekat dengan warna klasiknya Lasem.”

Menurutnya, motif belum terdokumentasi dengan baik, cenderung sporadis tersebar dalam memori para pembatiknya, "Kita paling tahu misalnya kupu-kupu itu maknanya kecantikan, bunga peoni keindahan, burung hong kecantikan. Nanti kalau embah-embah yang mbatik sudah meninggal ya motifnya juga ikut bersama terkubur bersama mereka.”

Para pengusaha batik dan pembatiknya terbiasa menyimpan khasanah motif dengan cara mengingat. Hal ini pun memunculkan kekhawatiran di kalangan pengusaha batik itu sendiri. Mereka banyak membuat motif batik yang umum diturunkan oleh generasi terdahulu terkadang tanpa mengetahui makna simboliknya, terutama yang berhubungan dengan simbol Tionghoa-Jawa.

Narasi kisah batik lawas yang direproduksi pun menjadi kisah yang sering disebut sebagai pakem "dari sananya sudah begitu". Padahal, motif dan narasi batik Lasem memiliki aneka kisah dan simbolisme yang diambil dari kisah sejarah, alam, dan budaya Jawa-Tionghoa. Seperti contohnya motif batu kricak pun memiliki kisahnya sendiri.

“Watu Kricak itu ceritanya ya motif pecahan-pecahan batu masa pembuatan Jalan Raya Pos zaman Daendels itu, sejarahnya kental ya. Belum lagi motif lainnya khas Babagan, seperti kawung Mbagan, kawung suketan, latohan, dan motif Tionghoa. Tapi kalau ditanya apa makna-maknanya saya kurang paham,” ujar pembatik muda Rudy Siswanto penerus Rumah Batik Kidang Mas, Babagan Lasem.

Menulusuri makna dan narasi motif batik Lasem tak semudah yang dibayangkan. Tim peneliti dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pun mencoba untuk membuat invetaris motif batik dari 11 Rumah Batik di sekitar kawasan Kota Tua Lasem melalui skema Pengabdian pada Masyarakat. Tim yang dimotori oleh Dr. Sonya Suganda dan Dr. Lilawati Kurnia tersebut sampai pada rekapitulasi sementara bahwa motif tunggal batik Lasem berjumlah 50 buah dan motif tunggal akulturasi Tionghoa berjumlah 64 motif, totalnya terdapat 114 motif tunggal.

“Jumlahnya bisa terus bertambah jika kita mengumpulkan nama-nama motif dari ke 120 rumah batik. Dari sini, kami berharap, generasi muda di Rembang Lasem dapat mengetahui kisah dan makna motif batik. Sehingga perasaan ‘hanya menggambar’ saja akan berkurang. Tak kenal maka tak sayang,” ujar Sonya.

Di tengah kegairahan meningkatnya kegemilangan batik tulis Lasem, rupanya masih terdapat sejumlah kekhawatiran seperti masalah regenerasi, kesejahteraan pembatik, pemasaran dan lainnya. Berita baiknya, saat ini sudah ada 21 jenis motif batik Lasem yang telah terdaftar di HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Hal ini memungkinkan hasil karya cipta para pengusaha batik mendapat jaminan perlindungan hukum dari penjiplakan atau pembajakan motif.