Mengapa Kami Menampilkan Potret Gadis Transgender di Sampul National Geographic?

By , Selasa, 27 Desember 2016 | 18:00 WIB

Banyak orang yang memperbincangkan Avery Jackson, gadis berusia sembilan tahun dari Kota Kansas yang menjadi orang transgender pertama yang tampil menghiasi sampul National Geographic.

Sejak kami membagikan foto-foto sampul edisi khusus tentang gender di Instagram, Facebook dan Twitter, puluhan ribu orang telah menyampaikan pendapatnya, dari ekspresi kebanggaan dan syukur, hingga meluapkan kemarahan. Tak sedikit yang bersumpah akan membatalkan langganan mereka.

Komentar-komentar ini merupakan bagian kecil dari diskusi mendalam tentang gender yang terjadi saat ini. Edisi Januari kami sebagian besar berfokus pada orang-orang muda dan bagaimana peran gender di seluruh dunia.

Untuk satu cerita, yang juga diubah menjadi serial video, kami pergi ke delapan negara dan memotret 80 anak usia sembilan tahun, yang berbicara dengan penuh keberanian dan kejujuran tentang bagaimana gender mempengaruhi hidup mereka.

Avery merupakan salah satu dari mereka. Ia tinggal sebagai gadis transgender terbuka sejak usia lima tahun, dan telah menangkap kompleksitas pembicaraan seputar gender. Hari ini, kita tak hanya berbicara peran gender terhadap anak laki-laki atau perempuan. Kita berbicara tentang pemahaman yang berkembang dari orang-orang di spektrum gender.

Potret-potret seluruh anak-anak sungguh menawan. Kami terutama menyukai potret Avery—yang menampilkan kesan kuat dan bangga. Kami berpikir sekilas, ia berhasil menyimpulkan konsep “Revolusi Gender.”

Seperti dia, kita semua membawa label yang disematkan oleh orang lain. Label bersifat pujian, seperti “murah hati”, “lucu”, “pintar”, kita kenakan dengan bangga. Sementara label buruk, dapat menjadi beban seumur hidup, dakwaan yang berusaha kita hindari mati-matian.

Label paling abadi, dan bisa dibilang paling berpengaruh, adalah yang pertama kali kita dapatkan: “Anak ini laki-laki!” atau “Anak ini perempuan!” Meskipun Sigmund Freud menggunakan kata “anatomi” pada aksiomanya yang terkenal, pada dasanya ia memaksudkan bahwa gender adalah takdir.

Saat ini, hal tersebut dan segala keyakinan lain tentang gender bergeser dengan cepat dan drastis. Itulah sebabnya kami mengeksplorasi tema tersebut bulan ini, melihatnya dari kacamata sains, sistem sosial dan peradaban sepanjang sejarah.

Nasreen Seikh hidup bersama orangtua dan dua saudaranya di daerah kumuh Mumbai. Nasreen ingin menjadi dokter, tetapi ia telah meyakini bahwa menjadi perempuan akan menghalanginya. (Robin Hamond)

Dalam sebuah cerita di majalah edisi khusus kami, Robin Marantz Henig menulis bahwa kita dikelilingi oleh “gagasan berkembang tentang apa artinya menjadi wanita atau pria dan apa artinya transgender, sisgender, gender nonconforming, queergender, agender, atau lebih dari 50 istilah yang ditawarkan Facebook kepada penggunanya untuk profil mereka. Pada saat yang sama, para ilmuwan mengungkap kompleksitas baru dalam pemahaman biologis tentang seks. Kebanyakan dari kita belajar biologi di sekolah menengah dan  memahami bahwa kromosom seks menentukan jenis kelamin bayi: XX berarti bayi perempuan; XY berarti bayi laki-laki. Namun pada satu kesempatan, XX dan XY tidak bisa mengungkapkan keseluruhan cerita.”

Dalam cerita lainnya, untuk mencari perspektif menghadapi masa depan pada gender, kami berbicara kepada anak-anak. Artikel serupa yang menampilkan Avery, juga menampilkan anak-anak muda dari Amerika hingga Timur Tengah, dari Afrika hingga Tiongkok. Para pengamat yang tajam dan pandai berbicara ini merefeksikan dunia pada kita.  

Nasreen Seikh hidup bersama orangtua dan dua saudaranya di daerah kumuh di Mumbai. Nasreen ingin menjadi dokter, tetapi ia telah meyakini bahwa menjadi perempuan akan menghalanginya. “Jika saya anak laki-laki,” katanya, “saya akan memiliki kesempatan untuk menghasilkan uang… dan memakai pakaian bagus.”

Saya menduga Nasreen akan belajar bahwa gender tidak akan menghalangi kehidupan yang baik (atau, untuk masalah ini, memastikannya). Tetapi, mari terang-terangan: Di banyak tempat, anak-anak perempuan khususnya, menghadapi berbagai risiko. Mereka berisiko diseret keluar dari sekolah atau disiram dengan cairan asam jika berani hadir. Mereka juga berisiko mengalami mutilasi genital, pernikahan anak dan kekerasan seksual. Ya, anak-anak di seluruh dunia, terlepas dari jenis kelaminnya, menghadapi tantangan yang hanya tumbuh di era digital. Kami berharap kisah-kisah tentang gender dalam majalah National Geographic edisi Januari, dapat memicu percakapan bijaksana tentang topik ini.

Terima kasih telah membaca National Geographic.