Warisan Opa Liem Seeng Tee

By , Rabu, 21 Desember 2016 | 08:00 WIB

Prasto wardoyo meraup cengkih dari keranjang. Dia mendekatkan raupan cengkih itu ke hidungnya sembari memejamkan mata. “Kakek saya tinggal di Jalan Sampoerna, tak jauh dari sini,” katanya sambil terus menghirup aroma cengkih itu.  Pada pertengahan abad ke-20, imbuhnya, di sepanjang jalan itu banyak rumah-rumah hunian para pelinting kretek.

Tak terhitung lagi, berapa kali Parto singgah ke Museum House of Sampoerna. Dia bukan sekadar menikmati koleksi museum, melainkan menziarah­i memorinya: bekas tempat tinggal kakeknya, aroma tubuh sang kakek, dan aroma perjuangan kota ini.

Cengkih dan tembakau adalah jejak mula perusahaan. Setelah ramuan itu ditambah sejumput resep saus rahasia, jadilah kretek terkenal sejak Hindia Belanda. “House of Sampoerna bukan museum kretek, tetapi museum yang merekam perjalanan Liem Seeng Tee dalam mendirikan bisnisnya,” demikian ujar Ina Silas, General Manager House of Sampoerna.

Cengkih dan tembakau dari berbagai daerah memang dipamerkan di sini. Namun, semuanya demi memberi sensasi aroma dan materi yang bisa teraba dari pengunjung. 

Di bagian paling depan museum ini, Ina menunjukkan sebuah diorama warung kecil yang menjual kebutuhan rumah tangga dan sepeda tua. “Sebelum usaha tembakau dan cengkih, istri Pak Liem menghidupi keluarganya dengan warung ini. Lalu dengan sepeda itu, Pak Liem menjalankan usaha kreteknya.” 

Tampaknya, Liem ingin menunjukkan bahwa semua upayanya bermula dari kesederhanaan dan keuletan. Kerja keras pun harus disertai dengan prinsip kerja sama, seperti yang dijelaskan Ina soal simbol tiga tangan: produsen, distributor, dan konsumen.

Perusahaan kretek ini berdiri semenjak 1913. Nama Handel Maatschapij Sampoerna baru muncul pada 1930. Pada zaman Jepang, Liem pernah ditawan dan perusahaannya diambil alih oleh Jepang.  Namun, Jepang meninggalkan pabrik dalam kondisi hancur.

Salah satu sudut House of Sampoerna yang memajang pusaka Liem Seeng Tee. (Titik Kartitiani)

Ina menuturkan satu kisah kepada saya. Dia baru mengetahui dari para pencinta sejarah tentang riwayat tersembunyi gedung ini. Kabarnya, pabrik ini menjadi salah satu tempat perjuangan pada November 1945. Para pemuda berkumpul di tempat ini untuk menghadang kedatangan tentara Sekutu dari Tanjung Perak, kata Ina. Mereka menamakan diri dengan Laskar Sampoerna. “Liem membantu perjuangan, karena itulah nama Sampoerna disematkan sebagai nama laskar.”

Museum House of Sampoerna diluncurkan pada 2003, berlokasi di kawasan Surabaya lama. Bangunan beraksen Hindia itu dibangun pada 1862. Awalnya sebagai bangunan panti asuhan zaman Hindia Belanda. Kemudian, Liem membelinya pada 1932 dan dijadikan sebagai pabrik Sampoerna pertama, hingga hari ini.

Aroma tembakau dan cengkih tersamar terbawa angin sore. Peristiwa di gedung ini melintas silih berganti, kegagalan dan keberhasilan. Ruangan itu masih menyajikan kisah, bagi siapa saja yang ingin berziarah.