Amerika Serikat dan Mesir Sepakati Perjanjian untuk Hentikan Perdagangan Artefak Ilegal

By , Kamis, 22 Desember 2016 | 18:00 WIB

Sepotong tangan mumi kuno yang diperuntukkan untuk properti studio Hollywood adalah salah satu dari lima artefak yang dikembalikan kepada pemerintah Mesir dalam upacara repatriasi yang diadakan 1 Desember lalu di Washington D.C.

Peserta upacara di Kedutaan Mesir mengagumi tangan berkerut tersebut, lalu secara perlahan disandarkan di atas alas. Begitu juga dengan  peti mati anak-anak yang berwarna-warni, papan kayu yang diukir, kain kafan bergambar, dan topeng yang disepuh.  Semua dipamerkan untuk terakhir kalinya sebelum dikembalikan ke negara asalnya. Semua artefak diperkirakan berusia lebih dari 2.500 tahun.

Meski tujuan tepat dari setiap artefak belum pasti, kebanyakan artefak itu dikirimkan ke Grand Egyptian Museum, tempat penyimpanan baru untuk artefak-artefak yang masih dalam tahap pembangunan di bawah bayangan Piramida Giza.

“Artefak-artefak ini akan lebih merasa seperti di rumah ketika berada di Mesir daripada berada di tempat koleksi pribadi seseorang di Amerika Serikat,” ujar Fredrik Hiebert, arkeolog yang bertugas di National Geographic Society.

Operasi kutukan mumi

Dengan pengecualian tangan mumi, semua artefak yang dipamerkan pada upacara repratiasi, disita sebagai bagian dari perluasan operasi perdagangan barang peninggalan sejarah selama lima tahun yang dijuluki  “Operasi Kutukan Mumi.”

Investigasi ini dipimpin oleh U.S. Homeland Security Investigations (HIS) dan Immigration and Customs Enforcement (ICE), ditampilkan dalam artikel utama National Geographic edisi Juni 2016, “How Tomb Raiders Are Stealing Our History”.

Operasi dimulai tahun 2008 ketika otoritas federal mendapat peringatan tentang sebuah artefak yang ditawarkan untuk dijual oleh penjual benda bersejarah di New York, Mousa Khouli. Artefak tersebut terlihat serupa dengan obyek tangan manusia dalam sebuah foto yang ada di artikel tahun 2003, tentang penjarahan situs kuno di Isin, Irak.

Sekitar 7.000 artefak dari beberapa negara termasuk Mesir, Irak, dan Yaman, akhirnya disita, bersama dengan uang sejumlah lebih dari $80.000 dan pistol berkaliber 9mm.

Empat orang itu akhirnya didakwa dalam kasus tersebut, bersama penjual barang bersejarah, Khouli, dihukum selama enam bulan penahanan rumah, lebih dari 200 jam pelayanan masyarakat, satu tahun masa percobaan, dan denda $200. Seorang kolektor, Joseph Lewis II, telah dihilangkan semua tuduhannya setelah perjanjian penuntutan yang ditunda selama 12 tahun oleh pemerintah.

Beberapa artefak lainnya dari Operasi Kutukan Mumi, telah dikembalikan ke Mesir bulan April lalu.

Sebuah topeng sepuh Mesir kuno (kiri) diletakkan bersebelahan dengan papan peti mati yang terukir. Keduanya diimpor secara ilegal ke Amerika Serikat dan akan dikembalikan ke Grand Egyptian Museum, yang sekarang masih dalam masa pembangunan. (Kenneth Garreth/National Geographic Society)

Tangan mumi diserahkan secara suka rela oleh pembeli setelah benda itu disita oleh U.S. Customs dan Border Patrol di Los Angeles. Tangan ini awalnya disangka berasal dari korban penculikan, hingga pemeriksaan medis meyakinkan FBI bahwa “korban” telah meninggal lebih dari 2.000 tahun.

Perjanjian terobosan

Upacara pengembalian diselenggarakan sehari setelah penandatanganan perjanjian bilateral tentang benda kekayaan budaya antara kedua negara oleh Sekretaris Negara Amerika Serikat, John Kerry dan Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shoukry.  

Perjanjian ini dimaksudkan untuk membatasi impor benda bersejarah terlarang atau benda-benda bersejarah lain ke Amerika Serikat dari negara asal mereka. Mereka mengurai jenis benda yang memerlukan izin legal untuk masuk ke Amerika Serikat, dan juga melibatkan pelatihan penegakan hukum untuk membantu mengenali artefak benda bersejarah yang mungkin diselundupkan ke negara itu secara ilegal.

“Kami ingin Mesir memahami jika kami menghormati sejarah mereka dan budaya mereka, sebesar harapan kami bahwa orang-orang juga menghormati kepunyaan kami.”

“Kami ingin orang-orang tahu bahwa Amerika Serikat tidak akan lagi menjadi pasar untuk barang-barang tersebut,” tutur Evan Ryan, Asisten Sekretaris Negara Amerika Serikat untuk Hubungan Pendidikan dan Budaya.

Negara asal harus menginisiasi permintaan untuk membuat perjanjian bilateral. Proses seperti dalam kasus Mesir ini mungkin memakan waktu beberapa tahun untuk berunding. Sejak 1983, Amerika Serikat masuk dalam perjanjian bilateral kekayaan budaya dengan 16 negara, setengahnya berlokasi di Afrika Tengah atau Selatan.

Ini merupakan perjanjian bilateral kekayaan budaya pertama antara Amerika Serikat dan negara di Timur Tengah atau Afrika Utara. (Saat ini Amerika Serikat mengalami darurat pembatasan impor secara sepihak [unilateral] atas barang bersejarah dari Irak dan Suriah.)

“Kami mengharapkan perjanjian ini dapat menjadi contoh untuk negara-negara lain,” jelas Asisten Sekretaris, Ryan. Dia menunjukkan optimismenya jika negara-negara lain di wilayah Amerika juga akan bergerak dalam meminta perjanjian bilateral untuk menjaga warisan budaya mereka.

“Kami ingin Mesir memahami jika kami menghormati sejarah mereka dan budaya mereka, sebesar harapan kami bahwa orang-orang juga menghormati kepunyaan kami,” pungkasnya.