Foto udara yang diambil oleh fotografer Brasil Ricardo Stuckert dari helikopter menampilkan masyarakat yang hidup terisolasi di belantara hutan Amazon. Masyarakat adat tersebut seperti menampilkan kembali pemandangan peradaban di era Neolitik yang telah lama hilang dari muka bumi.
“Saya merasa seolah menjadi pelukis di abad terakhir,” ujar Stuckert, mendeskripsikan reaksinya ketika melihat suku tersebut. “Meski ini sudah abad ke-21, masih ada orang-orang yang tak memiliki akses terhadap peradaban dan hidup seperti leluhurnya 20.000 tahun lalu,” lanjutnya.
Foto-foto jarak dekat yang diambil Stucker di dekat perbatasan Brasil dan Peru itu menampilkan detail orang-orang Indian yang selama ini luput dari perhatian para ahli antropologi. Detail itu antara lain potongan rambut dan tato di tubuh mereka.
“Awalnya kami kira mereka memotong rambut dengan gaya yang sama, tetapi ternyata mereka punya gaya yang berbeda-beda. Beberapa malah terlihat sangat punk,” kata Jose Carlos Meirelles, peneliti yang telah mempelajari suku-suku asli Brasil selama lebih dari 40 tahun.
Ketika helikopter yang ditumpangi Stuckert melintas di atas rumah-rumah jerami suku terisolasi tersebut, para penduduk yang telanjang itu jelas terkejut. Mereka berhamburan ke hutan ketika helikopter mulai mendekat.
Para penduduk yang awalnya panik, justru tampak menjadi ingin tahu ketika helikopter melintas untuk kedua kalinya. “Mereka terlihat lebih ingin tahu ketimbang takut. Sama-sama ada rasa ingin tahu, dari sisi saya maupun mereka,” ucap Stuckert.
Meirelles mengungkapkan, masyarakat adat ini tampak cukup makan dan sehat. Tumpukan jagung, ubi kayu, dan pisang mengelilingi gugusan pondok komunal mereka yang dikenal sebagai maloca, tampaknya cukup untuk mempertahankan hidup 80 hingga 100 penduduknya. Bersama dengan maloca terdekat lain dari suku yang sama, Meirelles yakin jumlah masyarakat adat ini melebihi 300 individu.
Hal mengesankan lainnya bagi Meirelles ialah ketika rentetan anak panah milik anggota suku tersebut menyerang helikopter. Ia menerjemahkannya sebagai tanda perlawanan yang sehat. “Melalui serangan anak panah itu, mereka seolah berpesan, ‘tinggalkan kami dalam damai, jangan mengganggu!’”
Tak seperti daerah lain di Brasil, negara bagian Acre memberlakukan pengamanan ketat terhadap hutan dan penduduk asli. Suku terasing di Acre tampaknya lebih aman—untuk saat ini. Tetapi hutan di seberang perbatasan di Peru yang penuh dengan pelaku pembalakan liar, penambang emas ilegal dan pengedar narkoba, berpotensi menjadi ancaman yang dapat menyapu bersih suku tersebut.
“Jika teriorial suku tersebut tersentuh oleh pembalak dan penambang liar, maka tamatlah mereka,” kata Meirelles.
“Mereka bisa hilang dari muka bumi dan kita bahkan tak bisa mengenal mereka,” tambahnya.
Meskipun berusaha menghindari kontak langsung dengan dunia luar, orang Indian yang tinggal di hulu Sungai Envira dan Humaita ini telah lama menggunakan peralatan dari baja. Peralatan baja memungkinkan mereka untuk membersihkan petak hutan untuk memperluas produksi pangan. Karena kelompok ini tidak pernah melakukan kontak dengan dunia luar, maka nama suku tersebut tidak diketahui. Pemerintah Brasil hanya merujuk kepada mereka sebagai "Orang-orang Indian terisolasi dari hulu Humaita."
Stuckert berharap bukunya yang akan segera terbit, Índios Brasileiros, akan membangkitkan keingintahuan dan kesadaran dari generasi ke generasi dan membuat mereka merasakan sensasi yang ia rasakan ketika melihat desa itu dari helikopter.
“Pengalaman itu sangat emosional dan menyentuh,” kenang Stuckert, “Kita tinggal di zaman ketika orang telah pergi ke bulan, tetapi di sini, di Brasil, ada orang-orang yang melanjutkan hidup dengan cara seperti yang dilakukan oleh manusia puluhan ribu tahun silam,” pungkasnya.