Bagan berbentuk persegi berukuran 20 meter persegi itu terombang-ambing oleh gelombang laut di Teluk Cenderawasih. Letak bagan itu tak jauh dari Desa Kwatisore, cukup 20 menit saja menggunakan perahu. Beberapa bagan lainnya tersebar di perairan ini.
Kami menyambangi salah satu bagan milik orang Maros yang dengan hangat menyambut kedatangan kami. Tepat di tengah bagan, terdapat tiang menjulang tempat kawat besi diikatkan untuk menahan kayu jaring tangkap. Di tengah bagan, bangunan kayu berukuran 4 x 4 meter ini menjadi rumah para nelayan saat hujan dan malam.
"Silahkah naik, tapi satu-satu biar bagan tidak oleng," ujar Andi. Tak ada aktivitas yang berarti di bagan yang dibangun sekitar setahun yang lalu ini. Biasanya aktivitas nelayan berlangsung kala malam hari. Jaring-jaring ini akan diturunkan, lampu yang sangat terang dinyalakan untuk menarik perhatian ikan agar datang menyambangi bagan.
Dahulu, untuk mengangkat dan menurunkan jaring, para nelayan menggunakan tenaga otot. Namun saat ini, mayoritas nelayan menggunakan mesin untuk mengangkat dan memutar jaring tangkap ikan. Di beranda kayu yang lebarnya tak lebih dari 30 sentimeter, kami menunggu kemunculan ikan terbesar dilautan. "Sebentar lagi biasanya mereka muncul. Tadi ada beberapa ekor yang berenang di sekitar sini," ujar Muslimin, salah seorang nelayan yang telah setahun tinggal di bagan ini. Benar saja, ikan yang kami tunggu akhirnya menyambangi bagan di perairan Teluk Cenderawasih. "Ini ukurannya bisa mencapai 4 meter," ujar Evi Nurul Ihsan, staf WWF Indonesia yang menemani perjalanan kami ke Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Taman Nasional seluas 1.453.500 hektare ini memiliki keanekaragaman hayati dan tingkat endemisitas yang tinggi. Sedikitnya ada 456 spesies karang dan 877 spesies ikan karang di kawasan ini. Sekitar 42 satwa berstatus dilindungi. Sebagai taman nasional laut terluas di Indonesia, hampir 90 persen kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih adalah perairan laut.
Perairan Kwatisore di Distrik Yaur merupakan satu dari segelintir tempat di dunia yang bisa melihat hiu paus dari dekat. “Hampir sepanjang tahun hiu paus hadir di sini,” ujar Evi Nurul Ihsan. “Saat bulan purnama, hiu paus jarang muncul. Tapi berdoa saja, kadang keberuntungan berbanding terbalik dengan purnama,” tambahnya.
Hiniotanibre adalah sebutan bagi hiu paus dalam Bahasa Yaur, atau warga lokal di Kwatisore biasa menyebutnya dengan gurano bintang karena totol-totol putih pada kulitnya nan gelap bak bintang-bintang di malam hari. Masyarakat lokal menganggap hiu paus sebagai hantu laut. Sebelum pariwisata marak di Kwatisore, masyarakat lokal sangat takut dengan hiu paus. Tak jarang mereka mematikan mesin perahu atau berdiam saat berpapasan dengan hiu paus di tengah laut. Kearifan lokal berhasil melindungi hiu paus (Rhicodon typus) yang masuk ke dalam daftar merah untuk spesies terancam oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status rentan. Di Indonesia sendiri, hiu paus ini telah dilindungi sejak tahun 2013 sebagai upaya untuk melestarikan dan menjaga populasinya di perairan Indonesia. Ukuran hiu paus yang hadir di Teluk Cenderawasih pun beragam. Namun dari total 121 hiu paus yang sudah dicatat oleh WWF Indonesia, mayoritas yang hidup di Taman Nasional Teluk Cenderawasih adalah jantan dengan panjang rata-rata 4,4 meter.
Kehadiran kami di Taman Nasional Teluk Cenderawasih ini dalam rangka program Inspirasi Pendidikan Negeri yang dilakukan oleh National Geographic Indonesia bersama Samsung Indonesia. Perjalanan mengunjungi enam destinasi yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara ini adalah sebagai upaya untuk memperkenalkan alam, budaya, dan berbagai hal menarik dalam bentuk video dan foto 360. Pendokumentasian kekayaan Nusantara menggunakan Samsung Gear 360 ini menjadi salah satu upaya untuk menyadarkan serta menginspirasi para penikmat karya video dan foto 360 yang dihasilkan selama perjalanan. Termasuk salah satunya di Teluk Cenderawasih. Tim Inspirasi Pendidikan Negeri menyelam dan melihat lebih dekat hiu paus dari kedalaman laut di Teluk Cenderawasih. Pendokumentasian hiu paus di habitat alaminya ini menggunakan Samsung Gear 360 menjadi salah satu upaya untuk memperkenalkan raksasa lautan ini dalam format yang berbeda sehingga bisa memberikan kesadaran kenapa penting bagi kita semua untuk melestarikannya. Sejalan dengan masyarakat lokal di Kwatisore yang dengan kearifan lokalnya menjaga hiu paus, kehadiran teknologi Samsung Gear 360 adalah cara baru bagaimana teknologi bisa memperkenalkan dan menginspirasi masyarakat banyak akan pentingnya menjaga alam dan melestarikan flora dan fauna yang hidup di habitat alaminya.