Ngayogjazz, Musik untuk Warga Segala

By , Rabu, 18 Januari 2017 | 10:00 WIB

Sosoknya berkarib dengan seni sejak dini. Masa kanak-kanak Djaduk Ferianto diisi dengan menabuh kendang, belajar karawitan, mendalang, dan menari. Kini, dia dikenal luas sebagai musikus kawakan berkat kepiawaiannya mengelaborasi musik tradisional dan modern. Jelang akhir tahun lalu, dia bersama para musisi kembali menggelar Ngayogjazz, menebarkan kebahagiaan lewat musik jaz ke desa-desa penjuru Yogyakarta. 

Bagaimana lingkungan memengaruhi jiwa seni Anda?

Saya dibesarkan dengan unsur tradisi yang sangat kental. Aktivitas kesenian berlangsung hampir setiap hari di rumah, yang difungsikan sebagai ruang kreatif—Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja. Sekira usia lima tahun, saya mencoba bermain kendang. Buat saya kendang sangat dinamis.

Anda sempat memilih kuliah seni rupa. Ada alasan khusus?

Di seni rupa saya diajak berani bicara, berdiskusi, dan berpikir bebas keluar dari pakem. Namun, rupanya, passion saya tetap di musik. Saya memilih keluar. Akan tetapi, dari seni rupa, saya belajar ‘melukis bunyi’. Saya kemudian mengadopsi konsep ‘ngeng’: Bunyikan saja dahulu, dipikir belakangan!

Selama ini, Anda bergelut dengan musik tradisi. Apa latar belakang Anda merancang Ngayogjazz?

Berangkat dari pengalaman diundang mengisi Jak Jazz pada 1995. Saat itu saya pikir jaz pasti elite, sulit, penuh teknik, dan mainnya di tempat mahal. Menurut para pakar musik, apa yang saya lakukan selama ini sangat jazzy. Jaz itu semangatnya adalah improvisasi. Jaz menampung segala jenis bebunyian. Semangat improvisasi dan kolaborasi inilah yang kami adopsi. Maka, pada 2007, saya dan teman-teman membuat Ngayogjazz.

Gregorius Djaduk Ferianto Lahir di Yogyakarta pada 19 Juli 1964, putra bungsu koreografer Bagong Kussudiardja. Pendiri Kua Etnika, Orkes Sinten Remen, dan Ngayogjazz. (Dwi Oblo)

Apa yang membedakannya dengan pagelaran musik lain?

Saya ingin mengubah pola pikir kebanyakan. Jaz tidak harus mahal dan sulit. Justru harus mudah didengar, terjangkau, dan tidak sekadar terampil dalam hal teknis. Di Ngayogjazz, musik yang dikenal elite ini, saya dekatkan dengan warga desa.Kami mengajak mereka terlibat mulai dari menyiapkan panggung sampai merancang artistik secara sukarela. Mereka pun merasa memiliki acara ini.

November silam menandai tahun kesepuluh Ngayogjazz. Bagaimana kesan Anda?

Pagelaran itu mengambil tema besar Hamemangun Karyenak Jazzing Sasama—intinya, membangun karya jaz yang indah untuk membahagiakan sesama manusia. Kami ingin orang yang datang ke Ngayogjazz bisa bahagia bersama! Baik melalui musik, makanan lokal, suasana desa, maupun keramahan warganya. Ngayogjazz sudah menjadi bahan pembicaraan sebagai destinasi wisata baru. Pengunjungnya bukan hanya orang Yogyakarta, tetapi juga pejalan mancanegara. Artinya, pagelaran ini sudah diterima oleh masyarakat luas dan menjadi bagian identitas kota.

Apa harapan Anda untuk kehidupan bermusik warga Yogyakarta?

Sejatinya, tujuan kami adalah investasi kultural. Migunani tumraping liyan—hal yang kami kerjakan hari ini, paling tidak, punya manfaat bagi generasi mendatang. Saya berharap warga bisa menjadi pendukung produk seni, supaya lingkaran ini meluas. Mulai dari menonton, membicarakan, dan mengapresiasi dari hal-hal sederhana.