“Ini adalah kejujuran yang harus kami sampaikan,” ujar Suwondo. “Ada faktor kurangnya pengetahuan dan kemauan aparat penegak hukum dalam mengungkap perdagangan satwa liar secara komprehensif.”
Bagaimana vonis dijatuhkan itu berawal dari penyidik, yakni kepolisian. Alur sederhananya adalah polisi melakukan penyidikan—materi penyidikan termasuk barang bukti nantinya akan diserahkan kepada jaksa untuk dipelajari. Jaksa akan mempelajari materi terkait kasus tersebut untuk dibawa ke meja sidang dan bertanding dalam persidangan. Berdasarkan paparan jaksa dan materi yang terkait dalam sidang, barulah hakim yang akan menentukan vonis.
“Vonis penjara satu atau dua tahun, atau seumur hidup, ditentukan dari bukti. Di sini, penyidik harus mampu menggali cerita atau fakta secara detail sehingga jaksa mempunayai kepercayaan diri untuk menuntut dengan tinggi dan hakim bisa mengerti,” ujar Suwondo.
Mencari bukti dan dan fakta secara detail membutuhkan pengetahuan dan perhatian mendalam tentang kasus yang diusut. Jika penyidik belum memiliki pengetahuan akan satwa liar terutama yang dilindungi, maka pelatihan dan sosialisasi kepada penyidik bisa ditingkatkan. Namun, penyerapan dan penerapannya harus diawali dari kepedulian terhadap kasus ini, dan Suwondo mengakui bahwa tingkat kepedulian aparat terhadap kasus satwa liar masih rendah dibandingkan terhadap kasus lainnya.
Sebagai catatan, kejahatan terorganisir terbesar di dunia adalah perdagangan narkoba, penggelapan senjata, perdagangan orang—sedangkan perdagangan ilegal satwa liar berada di posisi ke empat.
“Saya lama berada di bidang penyidikan terkait orang, keamanan negara, perdagangan orang, dan korupsi,” ungkap Suwondo. “Bisa jadi karena kami sendiri memang masih berada dalam taraf itu, sementara ini [perdagangan ilegal satwa] adalah kejahatan keempat.”
“Saya lama berada di bidang penyidikan terkait orang, keamanan negara, perdagangan orang, dan korupsi,” ungkap Suwondo. “Bisa jadi karena kami sendiri memang masih berada dalam taraf itu, sementara ini [perdagangan ilegal satwa] adalah kejahatan keempat.”
Ada cerita menarik di balik kasus tiga ton trenggiling yang ditemukan di Jambi pada November 2016. Ketika itu Suwondo turut membantu dalam proses penyidikan. Ia bercerita, mulanya, kepolisian melakukan penyelidikan terkait kasus narkoba. “Saat mengumpulkan barang bukti, kami menemukan trenggiling. Saat itu kami berpikir, untuk apa trenggiling ini?” paparnya.
Pengetahuan yang minim tentang satwa liar mengharuskan aparat di lokasi untuk berkomunikasi dengan pihak lain yang lebih tahu di bidang satwa liar. Setelah ditinjau, terungkaplah perdagangan ilegal trenggiling.
Cerita tersebut mengarahkan pada kepedulian aparat yang mulanya bukan pada rangka penangkapan kejahatan terhadap satwa. Kesadaran kepolisian akan kurangnya kepedulian terhadap kasus satwa liar mendorong lembaga ini untuk mempelajari lebih dalam akan pengetahuan satwa. Suwondo mengusulkan, ke depannya, tidak hanya aparatur pada tataran teknis yang perlu sosialisasi. Perlu ada sosialisasi pada pimpinan kepolisian untuk memberikan perhatian pada kasus satwa liar.
“Saat saya menjadi Kapolres,” kenang Suwondo, “tidak pernah sekalipun saya memberikan pengarahan tentang kasus satwa liar. Padahal, jika saya sampaikan, maka yang lainnya pun akan bergerak. Memang perlu ada pandangan di kepala pimpinan untuk memecahkan masalah ini.”
Hal serupa terkait pengetahuan tentang satwa liar juga disetujui oleh perwakilan dari kejaksaan. “Dalam membuktikan suatu perkara, perlu ahli. Tidak sesederhana bahwa apakah satwa ini dilindungi atau tidak,” ujarnya. “Kita harus meyakinkan pengadilan bahwa perkara ini memang sungguh-sungguh melanggar pidana.”
Kejaksaan mamahami ini dan melaksanakan pelatihan-pelatihan terkait kasus satwa liar. Juga ada wacana bekerjasama dengan WCS untuk memasukkan materi-materi ini ke dalam pusdiklat kejaksaan.