Perdagangan ilegal satwa terorganisir antarnegara dan dunia maya
Perdagangan ilegal satwa liar juga ditemui di dunia maya. WCU menyebutkan bahwa 40 persen kejahatan satwa liar adalah perdagangan satwa ilegal yang dilakukan secara daring. Kedok pelaku ditutupi oleh pengakuan sebagai komunitas pencinta satwa. Mengungkap praktik perdagangan ilegal di dunia maya juga lebih sulit karena penting bagi penyidik untuk mendapatkan bukti fisik.
WCU telah bekerjasama dengan beberapa media sosial untuk dapat mengidentifikasi dan menghapus akun-akun yang memuat perdagangan satwa. Pihak kepolisian sendiri memiliki unit kejahatan dunia maya yang diwacanakan untuk menjadi dirjen sendiri sehingga penanganan kasus perdagangan satwa ilegal di dunia maya bisa berjalan lebih fokus.
Pada kasus yang rumit hingga melibatkan jaringan internasional, seringnya aparat penegak hukum hanya bisa menyentuh hingga level distributor yang merupakan masyarakat umum.
Pelaku kejahatan terhadap satwa liar juga melibatkan kelompok-kelompok yang saling bahu-membahu dalam beraksi. Hal ini tidak lepas dari besaran transaksi yang bisa mencapai triliunan rupiah. Perdagangan ini juga dilakukan antarnegara, dengan skema paling sederhana adalah koneksi dengan pembeli. Kadal tanpa telinga dari Borneo sempat marak diperjualbelikan hingga ke Jerman. Pelaku kejahatan di Jerman juga menyalurkan satwa ini ke pembeli lain di negara sekitarnya, termasuk Swiss dan Rusia. Insang pari manta dijual besar-besaran untuk dikirimkan ke Tiongkok sebagai bahan obat tradisional. Begitu pula dengan trenggiling, yang selain dagingnya untuk dikonsumsi, sisiknya diduga menjadi bahan untuk membuat narkoba.
Pada kasus yang rumit hingga melibatkan jaringan internasional, seringnya aparat penegak hukum hanya bisa menyentuh hingga level distributor yang merupakan masyarakat umum. Lebih rumit lagi, jika perdagangan bagian-bagian tubuh satwa yang dilakukan ilegal telah masuk ke pasar-pasar satwa. Gading gajah afrika, misalnya, sedang marak dijual di Indonesia. Celakanya, Indonesia telah menjadi target besar pasar jaringan internasional perdagangan ilegal.
Kesadaran perlindungan satwa liar dan upaya penegakan hukum
Saat vonis dijatuhkan, hakim menilai dengan barang bukti dan keyakinannya bahwa pelaku telah melanggar pidana.
“Katakanlah, seorang hakim telah menjatuhkan vonis lima tahun penjara pada kasus pembunuhan orang. Kemudian ia menghadapi kasus satu harimau mati atau dua trenggiling mati. Vonis seperti apa yang ia harus jatuhkan?” Suwondo menggambarkan psikologi hakim dalam menangani persidangan.
Hakim akan memutuskan berdasarkan bukti sehingga di sini peran penyidik dan jaksa untuk memberikan keyakinan pada hakim bahwa ketika seekor harimau mati misalnya, dapat mewakili habitat atau ekosistem secara keseluruhan, dan vonis kepada pelaku dapat dijatuhkan semaksimum mungkin, sehingga efek jera semakin kuat dirasakan bagi para pelaku kejahatan.
“Seluruh pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk mendapat pemahaman,” tambah Suwondo.
Kerjasama antarlembaga—baik kepolisian, kejaksaan, KLHK, dan organisasi terkait—sudah semestinya ditingkatkan dalam perihal perlindungan satwa selama proses hukum berlangsung. Kepolisian menyatakan terdapat kasus tatkala satwa yang disita oleh aparat malah mati akibat kurangnya pengetahuan aparat dan sarana selama proses hukum berlangsung. WCU menyarankan agar terdapat kesepakatan antarlembaga tadi untuk melepasliarkan satwa hidup yang diperdagangkan—jika pakar merekomendasikan satwa tadi layak lepas liar. Barang bukti berupa bagian tubuh satwa atau satwa yang telah mati untuk segera dimusnahkan mengingat nilainya yang masih sangat besar dan berisiko mendorong kejahatan kembali.
Bukan hanya pemerintah dan aparat penegak hukum yang memerlukan kesadaran untuk memburu kejahatan terhadap satwa liar, tetapi peran masyarakat juga menjadi corong utama bagi aparat untuk mendapatkan informasi.