Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih menjadi patokan dalam vonis kejahatan terhadap satwa liar. Penerapan hukuman kejahatan adalah maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. Namun, hal ini tidak membawa para pelaku menjadi jera.
“Kami pernah menemukan kasus dengan pelaku yang kembali melakukan kejahatan yang sama,” jelas Dwi Adhiasto selaku Program Manager Wildlife Crime Unit (WCU).
Institusi ini merupakan unit khusus anti perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar yang dibentuk pada 2003 dan berkontribusi dalam membantu aparat melakukan penegakan hukum. Sepanjang 2016, WCU ikut berpartisipasi mengungkap kejahatan terhadap satwa liar dalam 52 kasus.
Dari 52 kasus yang diungkap aparat bersama WCU, 90 persennya berhasil sampai ke meja pengadilan. Sebanyak 28 kasus sedang dalam proses penyidikan atau persidangan, 19 kasus sampai dengan vonis, 4 kasus mendapat sanksi administrasi, dan 1 kasus dikentikan karena bukti belum kuat. Persoalannya adalah vonis yang dijatuhkan. WCU menyebutkan bahwa rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada pelaku sebesar 1-10 bulan penjara dan denda antara Rp11-50 juta.
Apakah undang-undang yang berlaku masih dianggap layak pada besaran maksimum hukuman? Pada kenyataannya vonis hukum yang selama ini diputuskan umumnya masih berada di bawah hukuman maksimum. Perkiraan dari WCU, 20 persen dari para pelaku akan kembali melakukan kejahatan serupa, mengingat keuntungan yang mereka raih dari hasil perdagangan satwa liar ini bisa jauh melebihi dari denda maksimum yang ditetapkan undang-undang.
Tantangan proses peradilan hingga vonis
Tantangan terkait peradilan ini menjadi kendala besar bagi aparat penegak hukum. Dalam beberapa aspek, tindak pidana kejahatan terhadap satwa liar merupakan kasus khusus yang dalam prosesnya sendiri cukup unik, seperti yang dijelaskan oleh Kombes Suwondo Nainggolan dari Bareskrim Polri. Ia memulai pembicaraan ini tentang kendala yang dihadapi oleh kepolisian.