Dalam dokumenter National Geographic Hell on Earth: The Fall of Syria and the Rise of ISIS, jurnalis dan sutradara pemenang Oscar, Sebastian Junger, 55, menawarkan satu cara pandang terhadap perang sipil Suriah. Buku terbarunya, Tribe, membahas konflik, kepulangan, dan kurangnya keterikatan dalam masyarakat Barat.
Mengapa membuat film di Suriah?
Tak ada yang menampilkan [perang ini] dari setiap perspektif. Namun, jika kita tak melakukannya, kita akan menciptakan film yang memiliki bias. Premis kami adalah bahwa ISIS sangat cerdas dan menarik simpati orang. Jika dunia ingin mendapat peluang untuk mengalahkannya, kita harus memahami alasannya.
Apakah cara meliput perang berubah ?
Kini ada upaya spesifik yang menyasar jurnalis. Dulu jurnalis tak tersentuh. Kini, mereka diculik dan dieksekusi di depan publik. Kami memutuskan bahwa ini adalah kisah yang harus disampaikan seorang Suriah. Kami tak ingin menempatkan wartawan Barat di tengah perjuangan orang lain. Saat mitra saya, Tim Hetherington, tewas di Libia, saya memutuskan untuk tidak meliput perang secara langsung.
Bagaimana perang mengubah masyarakat?
Dua puluh tahun setelah Sarajevo, seorang wanita berkata, “Tahu tidak, banyak dari kita yang merindukan perang.” Kebersamaan itu menjadi pencegah penyakit mental. Dalam Tribe, saya ingin menjelaskan alasan militer AS begitu efektif di medan perang, tetapi mengalami tingkat Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD) yang amat tinggi [11 dari 20 persen di-diagnosis meng-idap gangguan ini], sementara militer Israel hanya satu persen. Kewajiban mengabdi secara nasional, dengan pilihan bergabung dalam militer, sangat membantu. Seolah Anda menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri Anda.