Merawat Semangat Si Pitung

By , Kamis, 16 Februari 2017 | 15:00 WIB

Malam di Rawabelong baru saja menampakkan batang hidungnya. Tibalah saya di Gang Yusuf, seruas jalan kecil di sudut Rawabelong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di depan gang, saya bertanya ke beberapa warga, di mana tempat yang mengajarkan silat Betawi. Mereka pun menjawab dengan antusias. Saya berjalan menuju tempat yang mereka tunjuk: Sanggar Si Pitung. Kebetulan, malam itu adalah malam Saptu, anak-anak sanggar sedang latihan pukulan/silat di sekolah dasar yang tak jauh dari sanggar Si Pitung.

Saya berkenalan dengan sang pelatih, Hilman. Lalu kami berbincang tentang tujuan saya berkunjung ke sanggar ini. “Kalau mau ngobrol tentang Sanggar Si Pitung ke Bang Bachtiar aje, dia pimpinannya,” kata Hilman kepada saya. “Ada kok di sanggar,” imbuhnya.

Bachtiar merupakan pemilik dan pimpinan Sanggar Si Pitung. Saya menantinya, sambil melihat-melihat puluhan anak yang berlatih silat dengan semangat tinggi.

Saat berjumpa dan berkenalan dengan Bang Bachtiar, dia berkata, “Kalau mau nunggu di sanggar saja, karena sedang ada yang latihan gambang kromong.”

Karena Bachtiar terlihat masih repot dengan urusan sanggar,  saya pun berjalan menuju Sanggar Si Pitung yang tak jauh dari tempat latihan silat. Terlihat papan nama Sanggar Si Pitung dengan aksara berwarna merah, yang berisi berbagai layanan dari sanggar ini. Mulai dari prosesi perkawinan adat Betawi, gambang kromong, lenong, marawis, hingga jasa video. Komplit!

Saya duduk di kursi sembari memandang deretan piala koleksi sanggar, foto, piagam dan penghargaa lainnya. Saya takjub lantaran melihat banyak penghargaan yang diperoleh sanggar Si Pitung. Ada juara palang pintu, pantun, puisi Betawi, Lenong, dan lain-lain. Bejibun prestasinya. Saya terhibur alunan latihan gambang kromong, seketika perasaan kagum makin membuncah.

“Melestarikan nilai Betawi itu ada banyak cara,” ujar Bachtiar. “Ada yang dengan membuat rumah Betawi, bicara dalam bahasa Betawi, masak sayur Betawi, terlibat dikegiatan seni dan lain-lain.”

Malam makin beranjak larut. Akhirnya, saya mengobrol dengan Bachtiar di rumahnya yang tak jauh dari sanggar. Lagi-lagi saya merasa kagum dengan arsitektur dan interiornya. Di antara banyak rumah di Rawabelong, kediaman Bachtiar terlihat keren lantaran dibuat dengan aksen Betawi. Pagar, pintu, dan dinding bertradisi Betawi. Sementara, lampu gantungnya mengingatkan saya pada zaman lampau.

“Melestarikan nilai Betawi itu ada banyak cara,” ujar Bachtiar. “Ada yang dengan membuat rumah Betawi, bicara dalam bahasa Betawi, masak sayur Betawi, terlibat dikegiatan seni dan lain-lain.”

Bachtiar ingin melestarikan nilai Betawi sehingga ia mendirikan Sanggar Si Pitung pada 1995. Mengapa namanya Si Pitung?

“Kita tahu bahwa Si Pitung berasal dari Rawa Belong. Jadi ini adalah panggilan moral ingin melestarikan perjuangan Si Pitung,” ujar Bachtiar.

Konsep ikhlas diterapkan sanggar ini. Untuk belajar silat cingkrik, siswa tak perlu membayar. Gratis. “Coba saja cek ke anak-anak yang latihan, tak ada yang membayar,” ungkapnya. Latihan pencak silat merupakan bagian semangat Bachtiar yang ingin berbagi ke banyak orang. “Syukur anak-anak mau latihan. Ini menghindari anak-anak dari pergaulan negatif,” ujarnya.

Pandangan dan pengalamanya yang luas mengenai Betawi, membuat saya merasa senang bersua dengan Bachtiar. Obrolan hangat mengalir deras. Cerita bergulir, mulai dari kisah Si Pitung, Mat Item, lenong denes, lenong preman, kembang kelapa. Semuanya telah menjadi ikon Betawi. Dia juga bercerita telah menerima beragam penghargaan dari negara karena upayanya dalam melestarikan seni budaya Betawi.

Lantaran malam makin pekat, saya undur diri. Salut buat aktivitas melestarikan seni Betawi. Semoga Sanggar Si Pitung semakin maju.