Dwi Adreas Santosa (54) adalah Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI). Selain aktif sebagai dosen dan guru besar di IPB, ia juga gigih memperjuangkan kedaulatan dan kemandirian petani serta terbentuknya bank benih di setiap kabupaten.
Anda giat memperjuangkan kedaulat-an pangan. Apa perbedaannya dengan ketahanan pangan yang kita kenal?
Dalam ketahanan pangan, semua orang memiliki akses terhadap pangan yang cukup, tak mempermasalahkan cara produksi, asal pangan, dan kondisi petani. Model produksinya adalah pertanian industri, perdagangan liberal, dengan organisasi inti, WTO. Sedangkan Kedaulatan Pangan adalah hak bangsa, menentukan sendiri sistem pangan yang paling cocok, meng-usung pasar lokal, dengan organisasi inti gerakan sosial demokratis.
Apa kendala utama yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkannya?
Sistem pangan masih mengacu pada konsep ketahanan pangan. Pemerintah tak memiliki kapasitas mengintervensi langsung ke pasar. Stok pangan yang dikuasai pemerintah hanya 6-9 persen dan itu pun hanya beras. Pangan lainnya seratus persen dikuasai produsen pangan. Kondisi petani terpuruk. Dalam sepuluh tahun terakhir (2004 – 2013, Sensus Pertanian 2013), lima juta keluarga tani terpaksa keluar dari lahannya. Impor pangan 346 persen, terus meningkat hingga kini.
Apa yang harus dilakukan agar Kedaulatan Pangan tercapai di Indonesia?
Perlu perubahan besar. Antara lain, meninjau ulang peraturan dan perjanjian internasional. Hal yang tak kalah penting adalah memberikan hak bagi petani kecil untuk ikut menetapkan kebijakan pertanian, dan meningkatkan kedaulatan petani atas benih dan teknologi. Salah satu ide besar AB2TI adalah menciptakan 10.000 petani pemulia tanaman di seluruh pelosok Nusantara.