Kemenkes Gelar Parade Riset Etnografi Kesehatan

By , Selasa, 4 April 2017 | 12:00 WIB

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan menyelenggarakan “Parade Riset Etnografi Kesehatan dan Riset Intervensi Kesehatan Berbasis Budaya” di Kantor Kemenkes, Senin (3/4). Acara ini merupakan forum diseminasi dan advokasi hasil-hasil riset etnografi yang telah dilakukan oleh Balitbangkes sejak tahun 2012 silam.

Kepala Balitbangkes, Siswanto, menilai riset etnografi kesehatan penting untuk dilakukan karena dapat menyingkap berbagai norma dan nilai yang mendasari perilaku masyarakat tertentu. Hasil riset itu, nantinya  bisa digunakan sebagai landasan untuk mengubah perilaku kesehatan masyarakat .

“Riset Etnografi Kesehatan bisa dipakai sebagai pintu masuk untuk mengubah perilaku masyarakat, khususnya yang terkait dengan kesehatan,” katanya.

Sejauh ini, Balitbangkes telah menghasilkan 87 riset etnografi, dan  72 di antaranya telah dipublikasikan dalam bentuk buku. Jumlah tersebut merupakan gabungan antara Riset Etnografi Kesehatan (REK) dan hasil Riset Intervensi Kesehatan (RIK) Berbasis Budaya. Sekadar informasi, RIK merupakan langkah lanjutan dari REK. Dari beragam REK, tim periset memilih yang bisa diintervensi, kemudian ditindak lanjuti dengan melakukan  RIK.

Beberapa hasil Riset Etnografi Kesehatan (REK) yang dipresentasikan dalam parade ini antara lain Barapen dan Cacing Pita di Tana Papua; Daging Jube’, Potret Kusta pada Etnis Madura; dan Maskulin Dendong, Fenomena Gay Waria dan LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki) di Kota Makassar.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan menyelenggarakan “Parade Riset Etnografi Kesehatan dan Riset Intervensi Kesehatan Berbasis Budaya” di Kantor Kemenkes, Senin (3/4). (Humas Kemenkes)

Sementara itu, hasil Riset Intervensi Kesehatan (RIK) yang ditampilkan yakni Pijat Punggung Uruik dan Usapan Rendaman Paku Air Sebagai Komponen Pertolongan Persalinan di Kampar, Riau, dan Pemanfaatan Masyarakat Adat (Wunang) untuk Penanggulangan Tuberkulosis pada Etnis Sumba.

Dalam hal intervensi kesehatan, nilai-nilai budaya yang positif di masyarakat akan didorong dan dikembangkan menjadi kekuatan dalam peningkatan kualitas upaya pembangunan kesehatan. Sebaliknya, nilai-nilai budaya yang dipandang negatif akan dimodifikasi sehingga tidak merugikan kesehatan masyarakat.

"Parade ini diharapkan dapat memberikan pemahaman pada kita bahwa mengubah perilaku masyarakat penting dilakukan melalui pendekatan budaya masyarakat lokal. Karena jika langsung dilakukan secara umum tanpa memperhatikan budaya setempat, bisa jadi akan terjadi penolakan dan sulit mengubah perilaku masyarakat,” kata Siswanto.

Nantinya, hasil riset-riset etnografi kesehatan ini akan dipadukan dengan kebijakan dan program kesehatan yang telah dirancang. Hal ini perlu dilakukan agar pembangunan kesehatan dilandasi kebutuhan dan tetap memperhatikan nilai-nilai budaya di masyarakat. Dengan demikian, diharapkan penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap program dan pembangunan kesehatan meningkat.