Para peneliti merilis publikasi hasil penelitian yang menyatakan dua spesies baru Tarsius di Sulawesi. Kedua spesies baru tersebut diberi nama Tarsius spectrumgurskyae dan Tarsius supriatnai.
Keduanya kini melengkapi 11 jenis tarsius di Sulawesi dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Pemberian nama itu untuk menghormati dua ilmuwan yang telah berperan penting dalam upaya konservasi di Indanonesia.
Mereka adalah Dr. Sharon Gursky, seorang profesor antropologi di Universitas Texas A & M di Amerika Serikat, dan Dr. Jatna Supriatna, seorang profesor biologi di Universitas Indonesia.
Gursky telah mempelajari tarsius di wilayah konservasi Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara selama lebih dari 20 tahun dan menjadikannya sebagai pakar Tarsius di dunia. Sementara Supriatna adalah Guru Besar Biologi di Universitas Indonesia dan telah mensponsori banyak penelitian mengenai konservasi di Indonesia.
"Rilis kedua spesies baru tersebut dipublikasikan dalam artikel yang diterbitkan dalam Jurnal Primate Conservation pada 4 Mei tepat pada peringatan International Tarsier Day," ujar Myron Shekelle, Research Associate di Western Washington University’s Department of Anthropology yang menjadi penulis utama makalah tersebut, Sabtu (6/5/2017).
Shekelle telah melakukan banyak penelitian mengenai tarsius di Sulawesi. Dia telah menghabislan waktu lebih dari 20 tahun terakhir ini mempimpin sebuah tim peneliti, yang berafiliasi dengan Universitas Negeri Manado.
Penelitiannya telah menghasilkan kesimpulan bahwa tarsius di Sulawesi bukan hanya satu atau dua spesies seperti yang diketahui selama ini. Shekkele menggunakan perbedaan vokalisasi dan data genetika untuk menegaskan perbedaan dari kedua spesies tersebut.
Sebagaimana banyak spesies nokturnal, tarsius terlihat sangat mirip satu dan lainnya. Dengan teknik yang dikembangkan sejak tahun 1990an, pengamatan bioakustik dengan mengumpulkan dan membandingkan data gentik telah berhasil mengindentifikasi jenis baru.
Habitat tarsius berada di hutan primer namun juga bisa ditemui di hutan sekunder, dengan populasi yang cukup melimpah. Namun ancaman terhadap populasinya bisa datang dari kerusakan hutan atau penggunaan petisida bagi pertanian.
Mahluk yang beraktivitas pada malam hari ini punya berat sekitar 120 gram saat dewasa. Tarsius dapat melompat dengan mudah dengan presisi yang tinggi untuk menangkap mangsanya.
Hewan yang hanya ditemukan di beberapa pulau di Asia Tenggara ini memangsa serangga dan kadal.
Tarsius memiliki mata yang relatif berukuran besar dari badannya sebagai pengembangan kemampuan menemukan makanan mereka di malam hari. Dengan mata yang berukuran sangat besar, tarsius harus memutar kepalanya hingga 180 derajat ke arah manapun untuk melihat mangsanya.
"Temuan ini diharapkan bisa membantu dalam pelestarian tarsius di kawasan kritis dimana mereka berada," ujar Shekelle.