Mengenal Lebih Dekat Tari Kontemporer Bali, Tarian “Lepas” di Pulau Dewata

By , Jumat, 7 Juli 2017 | 13:00 WIB

Bali nampaknya tak pernah habis dengan kekayaan budayanya. Selain menawarkan keindahan alam, Bali juga memiliki warisan budaya berupa tarian. Mungkin, tarian tradisional Bali lah yang sering diketahui oleh masyarakat. Namun, ada ragam tari lain yang tak kalah eksotis untuk ditampilkan, yakni tari kontemporer.

Tari kontemporer merupakan suatu tarian kreasi baru yang lebih ekspresif dan bebas. Tarian ini muncul seiring maraknya berbagai tarian baru di tahun 1970. Ibarat memberikan angin segar bagi tarian Bali, tari kontemporer digunakan sesuai kreativitas penatanya.

Apa saja tarian “lepas” tersebut? Yuk, simak penuturan selengkapnya.

Cak Rina

Tarian Rina atau Cak Rina menjadi gerbang pembuka tari Kontemporer Bali modern. Pada tahun 1972, Sardono W. Kusumo menciptakan tarian ini di Banjar Teger Kanginan, Gianyar. Awalnya, Sardono dan beberapa seniman muda dari Taman Ismail Marzuki Jakarta mencoba memasukkan beberapa ide dan gerakan Subali-Sugriwa dalam cak ini.

Lampu piramida yang biasa digunakan, diganti dengan obor-obor untuk memudahkan pergerakan. Tak ketinggalan, pola kakilitan masih eksis pada tarian tersebut.

Beberapa adegan Cak Rina memang cukup menuai kontroversi. Pasalnya, terdapat adegan dimana anak-anak menari dan sebagian dari mereka tak mengenakan busana. Karya ini pun nyaris ditolak oleh para pengamat seni di Bali.

Dua tahun kemudian, dewi fortuna menghampiri Sardono. Karya barunya, Calonarang—yang melahirkan Dongeng dari Dirah—sukses besar di Paris. Berkat itu pula, kemarahan masyarakat Bali atas Cak Rina pun mereda dan para pengamat seni mulai tertarik dengan karya-karya Sardono.

Setan Bercanda

Tarian ini mendeskripsikan sekelompok setan anak Buah Ratu Gede Macaling yang menari-menari di tengah malam untuk menyebarkan wabah penyakit. 5-6 orang pria menari dengan bertelanjang dada dan mengenakan dedaunan.

Diiringi musik sederhana dari pecahan bambu, bebatuan, dan sepasang gangsa dari gamelan angklung, tari Wabah—tarian andalan—disajikan. Si pemrakarsa, I Wayan Dibia, pertama kali menampilkan tarian ini pada ujian tingkat Seniman Akademik Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta pada tahun 1974.

Tarian ini dianggap aneh dan tak urung menimbulkan kontroversi bagi para pemerhati seni di Bali. Setelah muncul di TVRI Denpasar tahun 1978, berbagai komentar positif dan negatif muncul di masyarakat. Kendati bersumber dari berbagai tarian tradisional Bali, kreasi ini dianggap telah merusak kebudayaan Bali.

Setelah kontroversi Setan Bercanda terjadi, dinamika tari kontemporer Bali pun terhenti hingga tahun 1984. Para koreografer terasa enggan untuk berkreasi lagi dalam membuat tarian aneh.

Ngelawang

Tari Ngelawang pertama kali ditampilkan oleh I Ketut Suteja, dosen STSI Denpasar, pada tahun 1992. Ngelawang berasal dari kata “lawang” dalam bahasa Jawa, yang berarti “pintu”. Dalam bahasa Bali, tari Ngelawang dimaksudkan sebagai pertunjukkan yang berpindah-pindah dari tempat ke tempat lain. Tarian ini biasa dilakukan pada hari Galungan atau Kuningan, atau ketika terjadi wabah penyakit di daerah tertentu.

Sutejo memasukkan beberapa ide pada Ngelawang untuk mengusir roh jahat. Diiringi dengan gamelan Balaganjur, 4 penari putra dan 4 penari putri, gerakan enerjik diciptakan dengan menampilkan 2 barong buntut, dan sebuah punggalan (topeng). Oleh karena itu, tarian ini sering disebut sebagai “Barong Ngelawang”.

Cak Subali Sugriya

Cak Subali Sugriwa berpangkal pada dramatari Cak, ciptaan I Wayan Dibia. Cak ini telah beberapa kali tampil di Pekan Kesenian Bali serta pagelaran nasional maupun internasional. Tarian yang diciptakan tahun 1976 ini dianggap memelopori kreasi tarian masa kini melalui gerakan dan teknik kakilitan yang disajikan.

Cak Subali Sugriwa menceritakan pertempuran Subali dan Sugriwa berjudul Kuntir. Kisah Kuntir diawali dengan kedatangan Hyang Indra ke tempat semedi Subali dan Sugriwa. Hyang Indra meminta mereka untuk membunuh Raksasa Lembu Sura dan Mahisa Sura. Sebagai imbalannya, ia akan memberikan hadiah seorang putri cantik bernama Dewi Tara.

Subali dan Sugriwa pun menyetujui permintaan itu. Mereka berangkat menuju goa yang dihuni oleh kedua raksasa tersebut. Subali lah yang masuk ke dalam goa, dan meminta Sugriwa untuk menutup goa dengan batu besar, agar kedua raksasa tidak bisa melarikan diri. Namun, Sugriwa pun menganggap kakaknya mati terbunuh, setelah melihat cairan merah dan putih keluar dari dalam goa.

Pada kisah Kuntir selanjutnya, para penari cak menyebar di sekitar panggung untuk membuat konfigurasi seperti gunung dan bebatuan, goa, dan lain-lain sesuai alur cerita. Formasi lingkaran mengelilingi lampu-lampu dan teknik kalilitan serta suara “cak” digunakan. Pada bagian ini, semua penari bergerak secara aktif. Ada yang berguling-guling, berlari berhamburan sambil menjerit-jerit atau tertawa, dan bergerak cepat maupun lambat. Obor-obor tak lupa dibawa para penari.

Di penghujung pagelaran, perang Subali Sugriwa dilakukan di atas pundak orang-orang. Dengan dibungkus kain putih, Subali diusung layaknya pada upacara kematian orang Bali.

Barong-Barongan

I Wayan Dibia kembali melahirkan karya tari pada tahun 1985. Tari Barong-Barongan menggambarkan remaja putra dan putri yang menari sambil menirukan gerakan Barong Ket. Tarian ini terinspirasi dari pengalaman pribadi si penari Barong Ket. Barong-Barongan diiringi alat musik sederhana yang dimainkan secara kakilitan, cengceng, dan tingklik bambu.

Tarian karya Dibia ini telah ditampilkan di berbagai pertunjukan nasional maupun internasional. Pekan Kesenian Bali (1985), pertunjukan STSI Denpasar di Hongkong (1986), pagelaran Body Tjak (1990), dan Internationales Tanz-Festival telah disambangi tarian ini.

Selain kelima tarian di atas, ada juga beberapa tarian kontemporer yang tak kalah penting, seperti Cak Seni Rupa Lata Mahosadhi (1995) dan Ruwatan Bumi (1997) karya Nyoman Erawan, serta Ram-wana : ketika Rama menjadi Rahwana (1999) karya I Wayan Dibia.