Berbagai tarian populer di Bali seperti tari Kecak, tari Pendet, tari Puspanjali, dan lain-lain tentunya sudah tak asing lagi di telinga. Namun, siapa sajakah sosok dibalik beragam tarian sohor tersebut?
Yuk, simak ulasan mengenai para maestro tarian Bali tersebut.
Wayan Limbak
Wayan Limbak adalah pencipta dibalik tarian indah tari Kecak. Sekitar tahun 1930an, ia bersama Walter Spies, seorang pelukis Jerman, memodifikasi tarian Sanghyang menjadi tari Kecak yang saat ini kita kenal.
Dalam modifikasi tarian tersebut, Limbak dan Spies menyisipkan sebuah cerita yang diambil dari epos Ramayana. Cerita itu menuturkan peristiwa ketika Jatayu dan Hanuman bertempur untuk melawan pasukan Rahwana yang menculik Dewi Sinta.
(Artikel terkait: Yuk, Kenali 5 Tarian “Hits” di Pulau Dewata)
Selain cerita pertempuran Rahwana, Limbak juga memberikan sentuhan kisah Subali ketika bertempur dengan adiknya, Sugriwa.
Dalam mempopulerkan tariannya di kancah nasional maupun internasional, Wayan Limbak membawa grup tarinya ke berbagai festival internasional.
Tarian yang dijuluki “The Monkey Dance” tersebut nyatanya tidak mengkhianati kreatornya. Tari Kecak telah berhasil menjadi tarian terpopuler di Indonesia dan dunia.
Pada 31 Agustus 2003, Wayan Limbak tutup usia di desa Bedulu, Gianyar, Bali. Ia meninggal di usia 160 tahun, meninggalkan karya yang tak terpisahkan dari Indonesia, khususnya Bali.
I Wayan Rindi
Siapa yang tak kenal tari Pendet. Tari tradisional Bali ini telah melambung di kancah dunia dan menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang patut diacungi jempol. I Wayan Rindi menjadi pencipta mahakarya yang sempat diklaim Malaysia pada 2009 silam ini.
I Wayan Rindi adalah seorang gadis Bali yang sudah memiliki darah seni sejak kecil. Perempuan yang lahir pada 1917 ini gemar mempelajari beragam jenis tarian tradisional.
Ia berguru kepada beberapa seniman sohor tari Bali, seperti I Nyoman Kaler (pencipta tari Panji Semirang, Margapati, Prembon), I Wayan Lotering, dan I Regog.
(Artikel terkait: Mengenal Lebih Dekat Tari Kontemporer Bali, Tarian “Lepas” di Pulau Dewata)
Mulanya, tari Pendet hanyalah tarian pemujaan yang dilakukan di berbagai pura di Bali. Namun, berkat gubahan Rindi, tarian ini berhasil dikenal oleh berbagai kalangan hingga taraf internasional, tanpa meninggalkan nilai-nilai sakral dan keindahan budaya bali.
Dengan seorang teman bernama I Ketut Reneng, Rindi mengeksplorasi dan menginovasi tarian Pendet Wali yang sebelumnya ada. Hal tersebut tak lepas dari kehebatannya dalam menciptakan gerakan yang indah dan citranya sebagai penari yang termashyur.
Kini, tarian tersebut dikenal dengan tari Pendet, yang dilakukan sebagai tari penyambutan selamat datang.
I Wayan Rindi wafat pada tahun 1976. Ia meninggalkan ilmu mengenai warisan Indonesia tersebut dan menularkannya kepada ratusan orang yang berguru kepadanya. Ia juga tidak pernah mematenkan tari ciptaannya itu hingga akhir hayatnya.
N.L.N. Swasthi Wijaya
N.L.N Swasthi Wijaya Bandem atau N.L.N Swasthi Wijaya merupakan tokoh dibalik kemashyuran tari Puspanjali. Selain sebagai pencipta, ia juga merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan tari Puspanjali pada masyarakat Bali.
Berkat tangan dingin perempuan kelahiran Mei 1946 ini, terciptalah mahakarya yang bermakna “tarian penghormatan bagi para tamu” tersebut.
(Artikel terkait: Memuliakan Bidadari dari Surga Terakhir di Bumi)
Dalam penggarapannya, Swasthi Wijaya tidak hanya menyajikan koreografi semata, tetapi juga berkolaborasi dengan I Nyoman Windha sebagai penata musiknya.
Kolaborasi kedua seniman profesional itu pun menghasilkan karya tari yang indah dipandang mata. Tersaji keelokan dan kelembutan gerakan wanita Bali ketika menari tari Puspanjali. Pertunjukan yang diperankan oleh 5 hingga 7 penari ini menunjukkan kekompakan yang harmonis.
Pada tahun 1977 sampai 1980, Swasthi Wjaya pernah menjadi pengajar tari Bali di Wesleyan University, Connecticut, USA. Kini, ia menjadi pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
I Nyoman Kaler
I Nyoman Kaler menjadi salah satu tokoh seni yang melegenda. Perempuan asal Denpasar ini lahir dari keluarga seniman. Ayahnya, I Gde Bakta merupakan seniman terkemuka pada masanya.
Begitu pula dengan ibu Kaler. Ia merupakan anak dari seorang guru tari dan tabuh bernama I Gde Salin. Tak heran, sejak kecil Kaler berguru tentang seni kepada ayah dan kakeknya.
Kaler tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Namun, kemampuannya dalam baca tulis aksara Bali dan huruf Latin patut diacungi jempol. Kemampuannya tersebut tak lepas dari seni tari dan tabuh yang ia pelajari.
(Baca juga: Semesta Mengakui Sembilan Tarian dari 'Surga Terakhir di Bumi')
I Made Sariada, I Gusti Gede Candu, dan I Made Nyankan merupakan tokoh-tokoh yang pernah mengajarkan seni kepadanya.
Ketika berusia 26 tahun, I Nyoman memperdalam tari Legong Kraton pada Ida Bagus Boda. Ia juga semakin mengeksplorasi kemampuan tari dan tabuhnya pada Anak Agung Rai Pahang dari Sukawati, Gianyar.
Teknik-teknik mengagumkan yang diajarkan Pahang kepada Kaler pun mampu menjadikan anak didiknya tersebut sebagai pencipta beberapa tarian populer di Bali, seperti tari Margapati, tari Panji Semirang, dan tari Prembon. Ia juga menguasai hampir seluruh alat gamelan di Bali.
Atas dedikasinya terhadap seni, ia menerima penghargaan tertinggi di bidang seni, yaitu Wijaya Kusuma, dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1968 dan Dharma Kusuma dari Pemerintah Daerah Bali tahun 1980. I Nyoman Kaler telah membesarkan nama Bali di kancah dunia karena beragam mahakarya yang ia ciptakan.
I Gede Manik
Pesohor seni lainnya yang turut melegenda adalah I Gede Manik. Manik menjadi penabuh dan penari pertama tari Kebyar Legong.
Suatu saat, ia menginovasi gerakan tari Kebyar Legong versi lain dengan durasi yang lebih pendek, tetapi tetap memiliki gerakan yang dinamis. Gerakan ini menggambarkan pemuda yang enerjik, penuh emosi, dan berusaha memikat seorang gadis.
(Baca juga: Inilah Sembilan Tari Bali yang Diusulkan Ke Unesco Jadi Warisan Budaya Dunia)
Awalnya, tarian ini tidak memiliki nama, hanya disebut sebagai tari Kebyar Dangin Enjung. Namun, ketika dipertunjukkan di depan Bung Karno dan rekan-rekannya pada 1950 silam di Denpasar, presiden pertama Indonesia itu menamai tarian tersebut dengan tari Trunajaya. Trunajaya bermakna “teruna yang digdaya”, atau “pemuda yang tak terkalahkan”.
Sebelum sohornya Trunajaya, Manik sempat menelurkan tarian lain bernama tari Palawakya pada tahun 1925. Ia juga menciptakan Tabuh Singa Ambara Raja dan berbagai tabuh lainnya di Buleleng.
Tak heran, ia telah meraih beberapa penghargaan, seperti Anugerah Seni dari Mendikbud RI, Mashuri (1969); Wija Kusuma dari Bupati Buleleng, I Nyoman Tastra (1981); Dharma Kusuma dari Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra (1981), dan Satya Lencana (2003) dari Presiden RI, Megawati Soekarno Putri.