Nationalgeographic.co.id—Pada akhir tahun 2021, dunia kehilangan salah satu aktivis terbesar dalam sejarah, yakni Desmond Tutu. Teolog Afrika Selatan sekaligus pemenang Hadiah Nobel Perdamaian itu mendapatkan perhatian global karena perannya yang tak tertandingi dalam menyoroti kejahatan apartheid dan melanjutkan perjuangannya dalam resolusi konflik hingga ulang tahunnya yang ke-79.
Dalam satu sikap dermawan terakhir untuk kesejahteraan umat manusia, Tutu memilih akuamasi untuk pemakamannya. Akuamasi adalah alternatif ramah lingkungan dari kremasi yang tekniknya menggunakan cairan alih-alih api untuk membuang mayat.
"Uskup Agung (Desmond Tutu) sangat jelas dengan keinginannya untuk pemakamannya,” kata Archbishop Tutu IP Trust dan Desmond and Leah Tutu Legacy Foundation sebagaimana diberitakan, News24.
"Dia tidak ingin pamer atau pengeluaran berlebihan. Dia meminta peti mati yang termurah yang tersedia dan bahwa karangan bunga anyelir dari keluarganya menjadi satu-satunya bunga di katedral."
Baca Juga: Kisah Kremasi Mayat Pria AS yang Tubuhnya Mengandung Zat Radioaktif
Dikutip dari IFL Science, akumasi yang diminta Tutu juga dikenal sebagai biokremasi, resomaso, kremasi tanpa api, dan kremaasi. Teknik kremasi ini menggunakan hidrolisis basa untuk membuang sisa-sisa manusia atau hewan.
Disebut-sebut sebagai alternatif ramah lingkungan untuk kremasi, akumasi dilakukan dengan menggunakan larutan alkali yang dipanaskan untuk memecah dan melarutkan tubuh sehingga hanya menyisakan kerangka.
Selama akuamasi, tubuh ditempatkan di dalam bejana bertekanan yang diisi dengan campuran air dan kalium hidroksida (larutan alkali) dan dipanaskan hingga sekitar 90 - 150 °C. Saat wadah diberi tekanan, larutan tidak mendidih dan malah dengan lembut bekerja memecah material-material organik selama beberapa jam.
Kremasi sering dianggap sebagai alternatif ramah lingkungan untuk praktik pemakaman tradisional yang melibatkan peti mati kayu mahal dan bahan kimia pembalseman. Sekitar 404.685 hektare tanah di Amerika Serikat didedikasikan untuk penguburan manusia, dan sekitar 1,6 juta hektare area hutan dilucuti setiap tahunnya untuk diambil kayunya guna dibuat menjadi peti mati.
Teknik kremasi telah menghilangkan beberapa degradasi dan perusakan habitat ini. Namun kremasi membutuhkan energi yang sangat besar untuk menyalakan api dan memompa jutaan ton karbon dioksida setiap tahunnya.
Di antara emisi hasil kremasi adalah polutan PM10 yang telah dikaitkan dengan depresi dan bunuh diri, dan PM2,5 yang dikaitkan dengan kesehatan jantung dan paru-paru yang lebih buruk sekaligus penyakit kronis dan komplikasi kelahiran.
Baca Juga: Arkeolog Temukan Tempat Kremasi Tertua, Berasal dari 9.000 Tahun Silam
Di sisi lain, akuamasi hanya membutuhkan sekitar sepertujuh dari energi yang digunakan dalam kremasi, dan tidak menghasilkan emisi apa pun. Cairan yang tertinggal setelah akuamasi adalah campuran steril dari senyawa organik termasuk garam dan asam amino yang dapat digunakan sebagai pupuk atau dinetralkan dan dilepaskan dengan aman ke saluran air.
Hasil akuamasi menghasilkan abu sekitar 32 persen lebih banyak sisa yang kemudian bisa dikeringkan dan dihaluskan menjadi bubuk putih. Abu ini dapat dijadikan kompos, jika Anda mau, sehingga jadi lebih bermanfaat dan ramah lingkungan.
Baca Juga: Ditemukan Bukti Manusia Telah Melakukan Kremasi Sejak 9.000 Tahun Lalu