Kebangkitan Badut Ujung Tamiang

By , Selasa, 26 September 2017 | 11:00 WIB

“Awas! Awas! Awas!” seru Yusriono sembari menahan pelepah nipah yang menghalangi pandangannya. Perahu kian merapat ke pepohonan muara dan semakin miring ke kanan karena semua awak berdiri di sisi yang sama.

Kemudian dia berseru, “Duri! Duri! Duri!”

Saya, yang berada di belakangnya, segera menungging di lantai perahu demi menghindari cabang-cabang berduri tadi.  Perahu melaju perlahan sementara para awak lain bergegas mengambil sangkar perangkap yang telah dipasang di dasar muara beberapa jam lalu. Yusriono melepas pelepah nipah yang ditahannya, pada saat yang sama saya bangkit sembari merasa kedamaian telah kembali—tanpa tahu apa yang dilakukan lelaki itu.

Akibatnya... Sreeeeeeeet wushhh!  

Saya hanya memejamkan mata. Pelepah nipah yang menyimpan kuasa pegas tadi nyaris menggaplok muka saya. Itu cerita kenangan saya bersama Yusriono setahun silam.

Yusriono berdiri di haluan dengan topi rimba, merupakan Ketua Yayasan Satucita Lestari. Sementara Joko Guntoro yang bertopi bisbol, merupakan pendiri dan peneliti tuntong laut, duduk di buritan yang memekakkan. Keduanya mengenakan pelantang telinga dan memegang radio transmiter untuk melacak keberadaan tuntong laut (Batagur borneoensis), warga setempat akrab menyebutnya tuntung laut. Mata mereka menerawang jauh, sementara tangan memutar-mutar kenop pelacak gelombang. Mereka sedang menyurvei populasi tuntong di kawasan lestari hutan mangrove di Ujung Tamiang, Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang.

Yusriono, Ketua Yayasan Satucita Lestari, mencari sinyal via radio transmiter untuk memantau keberadaan tuntong laut yang dilepasliarkan beberapa bulan sebelumnya di Ujung Tamiang. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Pesisir Ujung Tamiang termasuk dalam kawasan wisata perairan atau wisata alam dalam tata ruang Kabupaten Aceh Tamiang. Yayasan Satucita Lestari turut berupaya melindungi kelestariannya. Mereka mengajukan semacam peraturan perlindungan spesies tuntong laut agar terlindungi secara lokal. Harapannya, spesies itu dapat dilestarikan dengan sempurna.

Tuntong laut merupakan salah satu spesies kura-kura air tawar dan darat dari 29 spesies kura-kura yang ada di Indonesia. Keluarga tuntong memiliki dua spesies, tuntong laut dan tuntong sungai. Warnanya secara dominan warna cokelat muda.

Tuntong laut dan tuntong sungai memiliki habitat yang sama, yaitu hutan mangrove. Namun, tempat bertelur mereka berbeda. Tuntong sungai, saat musim bertelur bergerak ke tepian berpasir di hulu sungai. Sedangkan tuntong laut memiliki tempat bertelur sama dengan penyu, yaitu pantai pasir di laut. Secara habitat dan perilakunya di alam, sebenarnya keduanya masih misteri karena masih belum banyak penelitian untuk menyelidiki spesies ini—bahkan di Indonesia. Perilakunya masih misterius.

“Metode terkini yang dilakukan adalah studi telemetri,” ujar Joko Guntoro ketika kami berbincang dalam keteduhan hutan mangrove di halaman mercusuar. “Setidaknya studi itu bisa menjawab pertanyaan: Setelah pelepasan, apakah tukik bisa bertahan hidup atau tidak? Jadi itu semacam alat evaluasi program bagi kita sendiri.”

Studi telemetri ini baru bermula saat pelepasan 20 tukik tuntong laut pada akhir 2015, demikian ungkap Joko. Tiga diantaranya diberi alat transmisi yang memancarkan sinyal dengan interval setiap sepuluh detik. Selama Januari hingga Maret, tukik-tukik itu masih terdeteksi. Namun semenjak itu belum terdeteksi kembali. “Kalau pada radius sampai 20 kilometer kita tidak menemukan sinyal,” ujar Joko, “berarti kita harus memperluas pencarian.”

Pisang untuk menarik tuntong laut dalam sebuah survei populasi tuntong di kawasan lestari hutan mangrove di Ujung Tamiang, Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Sinyal yang dipancarkan transmiter tukik akan hilang dengan sendirnya setelah dua tahun. Artinya, para pelestari harus tetap mencari sinyal itu sebelum sinyal pupus. Apabila sinyal terdeteksi hidup namun tidak berpindah-pindah berarti tukiknya mati. Apakah tukik mati atau transmiter terlepas? Para pelestari harus membuktikan dengan menyelam ke dasar sungai untuk mencari spesimennya.

Joko menambahkan, terdapat beberapa metode untuk memantau tukik: metode penandaan dengan memberi tanda dengan memberi coakan pada karapas, metode telemetri dengan transmitter, dan yang paling sederhana adalah metode keping cip.  

“Tuntong laut memiliki peran yang sama seperti kura-kura,” kata Joko Guntoro, yang memprakarsai pelestarian tuntong laut sejak 2009. Awalnya, dia melakukan studi pendahuluan untuk melacak apakah kawasan ini terdapat spesies tuntong atau tidak. Setelah terbukti barulah mereka melakukan upaya konservasi.  Dia melanjutkan, tuntong memiliki zat nutrisi gizi yang dibutuhkan ekosistem sungai. Satwa ini makan akar-akar bakau, buah-buah bakau. Kotoran yang dibuangnya akan menjadi zat nutrisi bagi segala yang ada di ekosistem sungai—misal ikan dan kepiting.

“Tetapi,” sambung Joko, “memang akan sulit ketika kita harus menjawab seberapa besar.” Alasan utamanya adalah populasi tuntong yang sedikit. Ketika populasi sedikit kemudian kita menguji peranannya terhadap ekosistem yang begitu besar, paparnya, pasti hasilnya akan kecil. Hasil akan berbeda apabila ukuran populasi yang digunakan juga berbeda. “Kita belum pernah melakukan studi populasi tentang seberapa penting spesies ini berkontribusi pada ekosistem,” cetusnya. “Tetapi, kita tahu bahwa dia berperan.”

Semenjak 2013 hingga April 2017, total jumlah tuntong laut yang dilepas sebanyak 1.204 anakan. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Untuk melihat keseimbangan populasi, Joko telah melakukan serangkaian penelitian. Hasilnya, sekitar 65 persen didominasi betina dan 35 persen jantan. Menurutnya, perbandingan populasinya masih cukup ideal. Nasib tuntong laut masuk dalam kategori kritis, status spesies yang menghadapi risiko kepunahan dalam waktu dekat. “Coba cari tuntong laut di seluruh kebun binatang seluruh Indonesia,” ujar Joko seraya berkelakar, “pasti tidak ada!”

Kami menjauh dari Muara Tamiang sekira 40-an kilometer, menyusuri denyut kehidupan di hilirnya. Kami tiba di Kualasimpang, sebuah bandar lawas yang masih menyajikan pemandangan deretan pertokoan yang dibangun pada 1930-an. Pertokoan itu tampaknya dihuni oleh para pedagang Cina dan Arab pada masanya. Selama lebih dari seratusan tahun, bahkan sampai hari ini, orang-orang pedalaman Aceh Timur menyusuri Sungai Tamiang untuk menjual hasil kebun dan tangkapan mereka ke bandar lawas ini.

Kendaraan berpenggerak empat roda kami meninggalkan pusat denyut perniagaan itu, melintasi jalanan yang dikempit oleh pohon-pohon sawit. Di balik perkebunan itu sebuah rumah beratap seng dan berdinding papan menjadi tujuan kami. Di pekarangan belakangnya, tukik-tukik tuntong laut bercengkerama. Mereka menetas di pantai kawasan mangrove Ujung Tamiang, lalu dibesarkan oleh para pelestari di sini. Tujuannya, mempersiapkan tukik-tukik untuk kembali ke habitat asalnya. Inilah “Fasilitas Penetasan dan Pembesaran Tuntong Laut” yang dikelola Yayasan Satucita Lestari dan didukung oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Turtle Survival Alliance, dan Pertamina EP Asset 1 Rantau Field.

Yayasan Satucita Lestari dan Pertamina EP tengah mempersiapkan pendampingan ekowisata ke habitat tuntong laut. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Di penangkaran ini Joko menjelaskan siklus hidup tuntong laut. Pertama, musim bertelurnya berkisar dari Desember sampai Februari di pantai. Puncaknya pada pertengahan Desember dan pertengahan Januari. Kedua, musim penetasan yang memakan waktu 68 sampai 118 hari. Ketiga, tukik-tukik tuntong laut bermigrasi dari pantai berenang kembali ke sungai yang berjarak sekira 7 sampai 15 kilometer. Keempat, masa reproduksi tiba ketika tuntong laut berusia 8 sampai 12 tahun. Musim kawin tiba sekitar April sampai Agustus.

Pada musim kawin, pejantan tuntong laut berubah menjadi putih dengan tiga strip garis hitam di karapasnya. Kepala pun berubah total menjadi putih dan matanya dilingkari garis hitam, hidungnya berwarna oranye kemerahaan, mulutnya bak bergincu merah. Lantaran wajahnya menyerupai badut, satwa ini kerap dijuluki kura-kura badut.

Awal September ini Muspika Kecamatan Seruway, Dinas Pangan, Perikanan dan Kelautan, Yayasan Satucita Lestari Indonesia serta Pertamina membicarakaan tentang nasib tuntong laut. Hasilnya, mereka bersepakat membangun Rumah Informasi Tuntung (RIT).

RIT merupakan salah satu destinasi wisata pendidikan bagi masyarakat dari Ekowisata yang dikelola kelompok masyarakat Desa Pusung Kapal. Di dalamnya terdapat informasi yang terpajan melalui berbagai poster pengetahuan terkait tuntong laut. Rencana dalam lima tahun kedepan adalah pembangunan Pusat Konservasi Tuntung Laut dan Walking Track Mangrove.

Saluran informasi itu dikelola secara mandiri oleh Kelompok Sadar Wisata “Pusung Kapal”.  Mereka akan didampingi oleh para mitra dari Pertamina EP, YSLI, BKSDA dan Pemda Aceh Tamiang. Pegiat kelompok tersebut juga menyediakan buah tangan untuk para pengunjung, salah satunya Terasi Tutuk Pusung Kapal.

Yayasan Satucita pun mendampingi kegiatan paket ekowisata. Pengunjung dapat menikmati hutan mangrove dengan menyusuri muara Sungai Tamiang yang menjadi habitat tuntong laut dan keindahan pantai tempat tuntong bertelur. Mereka berkeliling dengan menggunakan BETIS (Boat Elektromagnetis) yang ramah lingkungan lantaran mesinnya nyaris tak bersuara dan tidak membutuhkan bahan bakar minyak.

“Konservasi tidak hanya menyelamatkan,” pesan Joko, “tetapi juga pelepasliaran demi menjaga keseimbangan alam.” Yayasan Satucita Lestari Indonesia dan PT Pertamina EP telah sepakat untuk menargetkan pelepasliaran sebanyak 500 ekor tukik sepanjang periode 2013 hingga 2017.

“Hingga April 2017, kami telah melampaui target dengan jumlah tukik yang dilepas sebanyak 1.204 tukik,” ungkap Joko. Dia menambahkan, sepanjang tahun ini, patroli berhasil menyelamatkan 26 sarang dan menginkubasi telur sebanyak 424 butir. “Tingkat keberhasilan penetasan berarti 87,5 persen.”

Joko mengungkapkan, peningkatan jumlah telur yang berhasil ditetaskan itu lantaran metode baru. Pada awalnya mereka menetaskan secara ex-situ dengan cara memindahkan telur-telur itu ke Kualasimpang, yang berisiko tinggi. Namun, sejak mereka menetaskan secara in-situ yang lebih alami karena tidak perlu memindahkan telur ke luar habitatnya. Selain itu, patroli tahun ini berhasil menyingkap lebih banyak sarang dan telur ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

“Cintailah tuntong laut seperti Anda mencintai Indonesia karena dia adalah kura-kura yang sangat Indonesia,” ujar Joko dengan mantap. “Sangat unik, warna dasarnya merah dan putih seperti warna bendera Indonesia.”