Repihan Pusaka Keluarga Dezentje, Pionir Perkebunan di Vorstenlanden

By , Selasa, 3 Oktober 2017 | 18:00 WIB

Terpaan panas sinar matahari pada suatu siang di bulan September, tidak menyurutkan semangat sekelompok orang yang tengah sibuk membersihkan setiap sudut kompleks makam keluarga Dezentje  di Desa Candi, Ampel, Boyolali. Kelompok itu terdiri dari tiga komunitas yang berbeda, yakni Salatiga Urban Legend, Boyolali Heritage Society, dan Komunitas Roemah Toea.

Berbekal peralatan sederhana seperti parit, gergaji, parang, dan lain-lain, mereka bergotong royong membabat rerumputan liar dan pepohonan yang tumbuh di sela-sela makam. Setelah dibersihkan, satu persatu makam mulai tersingkap dengan bentuknya yang beraneka ragam. Ada yang menyerupai bentuk pilar yang patah, kemudian ada pula yang berbentuk seperti tugu obelisk kecil. Menariknya, di kompleks makam tersebut ada sebuah makam yang bentuknya menyerupai pendhopo limasan kecil, seperti sebuah rumah Jawa.

“Secara umum kebanyakan makam di sini merupakan makam model berdiri seperti monumen, beberapa diantaranya ada yang berukuran kecil. Ditengarai makam-makam tersebut merupakan makam milik anak-anak," papar Aga, pemerhati sejarah dari komuntias Roemah Toea.

Kondisi kompleks makam keluarga Dezentje di Desa Candi, Ampel, Boyolali sebelum (atas) dan sesudah (bawah) dibersihkan . (Aga Yurista Pambayun)

Untuk makam yang bentuknya seperti pendhopo limasan, Aga menerangkan bahwa makam tersebut diduga kuat merupakan makam seorang Belanda yang semasa hidup mengagumi kebudayaan Jawa dan kemudian membawanya ke dalam bentuk makam tempat jasadnya dibaringkan.

Ketertarikan keluarga Dezentje akan kebudayaan Jawa amatlah kuat. Lalu siapa sebenarnya keluarga Dezentje ?

Keluarga Dezenjte dahulu kala merupakan keluarga pemilik perkebunan yang amat disegani di wilayah Surakarta raya. Tanahnya dulu mencakup separo dari wilayah Kabupaten Boyolali yang sekarang. Usaha perkebunan keluarga itu dirintis oleh Johannes Augustinus Dezenjte ( 1797 -1839 ) pada tahun 1810an, menjadikannya sebagai pionir perkebunan di tanah Vorstenlanden.

Dalam buku Djocja Solo, Beeld van Vorstenlanden, karangan Bruggen dan Wassing, dikisahkan bahwa sekalipun ia memiliki darah Eropa, gaya hidup Tinus bak seorang bangsawan Jawa. Pendeta S. Buddingh yang pernah berkunjung ke kediaman Tinus, menuturukan bahwa kediaman Tinus “dibangun dalam gaya seperti rumah bangsawan Surakarta atau bupati Jawa, dilengkapi dengan kebun binatang dan tembok tebal yang mengelilingi rumah seperti benteng yang diperkuat dengan bastion dan gardu pengawas”.

Rakyat jelata mesti bersimpuh ketika Tinus berjalan. Demi melindungi perkebunannya dari gangguan Perang Jawa, Tinus menyewa detasemen serdadu bayaran berkekuatan 1500 personel. Kuasanya di lingkaran dalam Kasunanan Surakarta amatlah besar. Susuhunan Surakarta berhasil ia lobi untuk bersikap netral selama Perang Jawa. Kendati Tinus memiliki hidup yang glamour, namun ia juga dikenal sebagai seorang dermawan. Para petani yang bekerja padanya diberikan bibit dan hewan ternak secara cuma-Cuma. Kejayaan perkebunan keluarga Dezentje terus berlanjut hingga menjelang pendudukan Jepang, ketika Kasunanan Surakarta memperingkatan keluarga Dezentje untuk segera meninggalkan Hindia-Belanda karena setelah Jepang masuk, mereka akan diperlakukan buruk oleh Jepang.

Kejayaan perkebunan keluarga Dezenjte nyaris tenggelam dalam ingatan sebagaimana makam keluarga Dezentje di Ampel. Kini, satu-satunya tinggalan keluarga Dezentje di Ampel itu dibersihkan, mengembalikan simbol kejayaan keluarga Dezentje.

“Kegiatan bersih-bersih ini merupakan bagian dari upaya kami menyelamatkan Situs Cagar Budaya kompleks makam keluarga Dezenjte setelah puluhan tahun terlantar dan tak mendapat perhatian," jelas Warin Darsono, 29 tahun, koordinator dari kegiatan tersebut.

Warin menambahkan bahwa  kegiatan tersebut sekaligus untuk memenuhi amanah keluarga Dezenjte yang kini terpencar di luar negeri. “Makam-makam tersebut masih diziarahi oleh keluarganya dan segala kegiatan di sini tanpa izin dianggap illegal," ujarnya.

Selain karena makam itu masih diziarahi oleh keluarganya, makam tersebut juga ada di bawah pengawasan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) mengingat kondisi makam tersebut banyak yang rapuh. Dari keterangan yang diperoleh dari Samto, Kepala Desa Candi,  pemerintah desa rupanya telah memiliki keinginan untuk merawat makam-makam itu, namun rencana tadi akhirnya mentok di tingkat pemerintah kabupaten.

“Ya intinya kami berharap makam-makam ini dapat dijaga dan dirawat dengan baik oleh pemerintah, sehingga ke depannya makam ini dapat dikembangkan menjadi wisata edukasi sejarah mengingat peran Dezentje yang cukup besar di Vorstenlanden dulu," pungkas Warin.